LAFADZ DARI SEGI KETIDAKJELASANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
ushul fiqih, setiap istimbat(pengambilan hukum)dalam syariat islam
harus berpijak pada Alqur’an dan sunnah nabi.adalah menjadi keharusan
bagi seorang ahli hukum (fiqih) untuk mengetahui prosedur penggalian
hukum. Untuk kepentingan itu ilmu ushul fiqih telah menetapkan
metodologinya.
Cara
penggalian hukum dan nash ada dua macam pendekatan,yaitu pendekatan
makna dan pendekatan lafal. Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan
hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan qiyas, istihsan,
maslahah mursalah dan lain sebagainya. Sedang pendekatan lafal
penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang sangat
dibutuhkan yaitu penguasaan terhadapmakna dari lafal-lafal nash serta
konotasinya dari segi umum dan khusus dan mengetahui dalalahnya.
Dalam
makalah ini penulis akan berusaha memaparkan keterangan dari beberapa
sumber mengenai Lafaz dilihat dari segi ketidakjelasannya meliputi lafal
Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Khafi
Lafal khafi ialah:
ما خفي معناه فى بعض مدلولاته لعا رض غيرالصغة
Suatu lafal yang samar artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya
yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi lafaz[1].
Lafal
Khafi itu sebenarnya bisa menunjukkan kepada artinya secara jelas,
tetapi dalam menerapkan arti itu kepada kasus tertentu merupakan bentuk
yang samar dan tidak jelas. Ketidakjelasan ini timbul karena bentuk
kasus tersebut tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh
dalil yang ada, untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil[2].
Sumber kesamaran dalam lafal itu disebabkan karena dalam salah satu
satuan artinya ( afrad-nya) mengandung sifat tambahan dibandingkan
dengan satuan arti yang lainnya. Bisa juga karena kurang sifatnya atau
karena kekurangan siafat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan
artinya diragukan. Kesamaran arti lafaz itu dihubungkan dalam konteks
satuan arti tersebut[3].
Contoh lafaz khafi ini adalah lafaz السارق (pencuri) pada ayat 38 surat al- Maidah:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.
Pengertian pencuri secara umum sangat jelas, yaitu orang yang mengambil
harta milik orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang
layak. Kemudian timbul ketidakjelasan ketika menerapkan ayat 38 surat
al- Maidah tersebut kepada tukang copet yang melakukan pencurian tanpa
bersembunyi. Demikian pula pencuri kain kafan di kuburan yang tidak
jelas siapa pemiliknya, lantaran mayat tidak mempunyai hak milik. Karena
kesamaran inilah maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’
dalam menetapkan hukum dari dua kasus tersebut. Dalam hal ini Abu
hanifah tidak memasukkn dua kasus tersebut pada السارق , sedangkan Syafii memasukannya[4].
B. Musykil
ما خفي معناه بسبب فى ذات اللفظ
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri[5].
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya karena banyak makna
yang digunakan untuk mengartikan lafal tersebut, sehingga dalam upaya
mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan
indikasi atau dalil dari luar[6].
Sumber
kesamaran lafaz itu berasal dari lafz itu sendiri. Adakalanya karena
lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak secara penggunaan yang
sebenarnya sehingga tidak dapat dipahami artinya dari semata-mata hanya
melihat kepada lafaz itu. Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini.
Mungkin pula ketidakjelasan lafaz itu karena ada pertentangan antara apa
yang dipahami dari suatu nash dengan apa yang dipahami dari nash lain.
Dalam memahami lafaz musykil bentuk pertama atau yang disebut dengan
lafaz musytarak diperlukan petunjuk dari luar lafaz, bukan dari ungkapan
lafaz itu sendiri. Dalam penemuan petunjuk dari luar itu
terdapatperbedaan pendapat di kalangan ulama’ yang menyebabkan perbedaan
dalam memahami nash hukum.
Umpamanya lafaz Quru’ (قروء) dalam surat al-Baqarah (2):228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….
Lafal قروء
pada ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci
bisa pula berarti masa haidh. Adanya arti ganda itu menghasilkan hukum
yang berbeda, karenanya lafaz tersebut termasuk dalam lafz musykil.
Untuk mengetahui maksudnya secara pasti diperlukan adanya qorinah yang
akan menjelaskannya. Kelihatannya dalam hal ini ulama’ mengemukakan
dalil atau qorinah yang berbeda, sehingga menghasilkan hukum yang
berbeda[7].
1.
Ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa quru’ itu artinya “Haid”. Untuk
menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan dalil dan qorinah sebagai
berikut:
a. Firman Allah dalam surat at-Thalaq(65):4
واللائى يبسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعد تهن ثلاثة أشهر
Perempuan-perempuan yang telah putus haid diantara istrimu jika ia ragu tentang iddahnya, mka iddahnya adalah tiga bulan.
Nash ayat ini menjelaskan bahwa dalam keadaan luar biasa, yaitu saat
meragukan karena haidnya telah terputus, maka perhitungan iddahnya
adalah tiga bulan. Hal itu berarti bahwa perhitungan tiga quru’ itu
berlaku untuk perempuan yang masih haid. Dengan demikian perhitungan
iddah itu adalah dengan haid, bukan dengan suci[8].
2.
Imam Syafii berpendapat bahwa quru’ itu artinya adalah “suci”. Untuk
menguatkan pendapatnya ia mengemukakan alas an sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT, dalam surat at-Thalaq(65):1:
إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعد تهم
Bila kamu ingin menceraikan istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka dalam waktu iddahnya[9].
Ayat
diatas secara jelas menyatakan bahwa menalak istri itu adalah pada masa
iddahnya dengan arti langsung masuk kedalam perhitungan iddah. Talak
seperti ini termasuk dalam talak sunni. Talak yang masuk ke dalam masa
iddah dalam talak sunni adalah bila dilakukan saat istri dalam keadaan
yang belum dicampuri. Dengan demikian perhitungan iddah dengan tiga kali
suci dan bukan tiga kali haid. Karena itu maka arti quru’ berarti suci.
b. Kata bilangan untk menunujukkan 3 quru’ dalam ayat tersebut menggunakan jenis kelamin betina( muaanas) yaitu ثلاثة . Dalam ketentuan kaidah bahasa Arab, bila bilangannya menggunakan jenis kelamin betina(muannas), maka yang dibilang(المعدود
) harus dalam bentukjenis yang jantan(mudzakar). Berdasarkan ketentuan
bahasa ini, maka quru’ itu harus bentuk mudzakar. Diantara kata” suci”
dan “haid” itu dalam kaidah bahasa Arab, yang mudzakar adalah kata “
suci” , berarti tiga quru’ itu tiga kali suci[10].
C. Mujmal
Lafal mujmal dalam pengertian sederhana adalah:
اللفظ الذى ينطوى معناه على عدة أحوال وأحكام قدجمعت فيه
Lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya[11].
Lafaz mujmal ini lebih samar(tidak terang)dibandingkan lafaz sebelumnya
karena dari segi shighatnya sendiri ia tidak menunjukkan
arti yang dimaksud; tidak pula dapat ditemukan qorinah yang dapat
membawa kita kepada maksudnya; tidak mungkin pula dapat dipahami arti
yang dimaksud kecuali dengan penjelasan syar’i( pembuat hukum) sendiri(
dalam hal ini adalah Nabi).
Ketidakjelasan dalam lafaz mujmal itu disebabkan dari lafaz itu
sendiri, bukan dari faktor luar; seperti lafaz-lafaz yang dinukil oleh
syar’I dari arti kata(lughowi) dan diahkan menjadi istilah teknis
hukum. Umpamanya lafaz shalat, zakat,shiyam,haji,riba dan sebagainya,
lafaz-lafaz tersebut sebenarnya lafaz yang terpakai dalam bahasa Arab
secara arti kata, namun bukan menurut apa yang dipahami oleh orang Arab
dalam bahasa sehari-hari. Untuk maksud itu Nabi memberikan penjelasan
dengan sunahnya.
Perbedaan antara Lafaz mujmal dengan khafi dan musykil adalah bahwa
lafaz mujmal tidak mungkin diketahui rincian maksudnya hanya semata-mata
mengandalkan dan melihat pada lafaznya sebagaimana yang berlaku pada
khafi dan tidak pula dengan semata-mata pada penalaran dan penafsiran
lafaz sebagaimana berlaku pada musykil. Untuk memahami secara baik
maksud lafaz mujmal menurut bentuknya yang berbeda itu serta juzu’nya
yang bersamaan harus merujuk pada penjelasan resmi dari nabi yang
menjelaskan arti dan rinciannya[12].
Kebanyakan dari ibarat Qur’ani khususnya yang mengenai hukum taklifi
muncul dalam bentuk mujmal. Kemudian datang sunnah menjelaskan dan
merinci hukumnya., sehingga tidak ditemukan lafaz mujmal dalam Al-Qur’an
yang tidak dijelaskan oleh sunah nabi dan oleh sebab itu tidak timbul
lagi keraguan.
D. Mutasyabih
Lafaz
mutasyabih secara bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya
karena mengandung beberapa persamaan . Dalam istilah hukum, Lafaz
mutasyabih adalah:
اللفظ الذى يخفى معناه ولاسبيل لأن تدركه عقول العلماء
Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapainya[13].
Ketidakjelasan lafaz mutasyabih ini adalah karena shigatnya sendiri
tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qorinah yang akan
menjelasakan maksudnya; sedangkan syar’i membiarkan saja kesamaran
tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal manusia tidak dapat
berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah
sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia. Lafaz mutasyabih
itu ada dua bentuk[14]:
1. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an seperti كهيعص , الر, الم
dan sebagainya. Potongan-potongan dalam bentukhuruf ini tidak
mengandung arti apa-apa ditinjau dan segi lafaznya. Allah SWT dan nabi
Muhammad SAW sendiri tidak pernah menjelaskannya sehingga setiap pembaca
hanya akan mengatakan والله اعلم برده .
2.
Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta
dengan makhluknya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti
lughowinya, karena Allah SWT mahasuci dari pengertian yang demikian,
Umpamanya firman Allah SWT dalam surat al-Fath(48):10:
يدالله فوق أيديهم
Arti lughowi ayat tersebut: Tangan Allah berada diatas tangan mereka.
Firman Allah dalam surat ar-Rahman (55):27:
ويبقى وجه ربك ذوالجلال والإكرام
Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu yang maha besar dan maha mulia.
Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat
ayat-ayat murtasyabih karena Allah SWT sendiri yang mengatakan
demikian, seperti tersebut dalam surat Ali ‘imran (3):7:
هوالذى أنزل عليك الكتاب منه ايات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات
Dialah
yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu. Diantaranya (isi)-nya
ada ayat-ayat muhkamat, dan itulah Ummul kitab ( pokok-pokok isi
Al-Qur’an) dan yang lain adalah (ayat-ayat) mutasyabihah[15].
Disamping kesepakatan ulama’ tentang keberadaan ayat mutasyabihat dalam
Al-Qur’an, mereka berbeda pendapat tentang tempatnya dalm Al-Qur’an.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa tidak ada ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an
kecuali dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk huruf-huruf yang disebut
terpotong-potong dalam Al-Qur’an, dan kedua pada sumpah Allah dalam
Al-Qur’an, seperti pada surat as-syams(91):1-2:
والشمس وضحاها. والقمر إذا تلاها
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari; dan demi bulan apabila mengiringinya.
Ulama’ lain menamakan apa yang diungkapkan ibnu hazm tersebut dengan
ayat-ayat yang mengandung penyamaan Allah dengan makhlukNya.
Ayat-ayat hukum yang mengandung beban taklif yang merupakan pokok-pokok
syariah Islam tidak satupun dalam bentuk mutasyabihat dalam pengertian
tersebut, tetapi semuanya jelas baik jelas dari segi lafaznya maupun
jelas sesudah dijelaskan oleh sunah Nabi[16]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Lafal dilihat dari segi kejelasannya terbagi menjadi empat:
a.Khafi(tidak jelas)
Suatu lafal yang samar artinya dalam sebagian penunjukkan (dilalah)nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi lafal
Contoh lafaz khafi ini adalah lafaz السارق (pencuri) pada ayat 38 surat al- Maidah:
السارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.
b.Musykil(lebih tidak jelas)
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.
Umpamanya lafaz Quru’ (قروء) dalam surat al-Baqarah (2):228:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’….
c.Mujmal(sangat tidak jelas)
Lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terkumpul di dalamnya.
d. Mutasyabih( paling tidak jelas)
Lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapainya.
1. Dalam bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an seperti كهيعص , الر, الم dan sebagainya. Potongan-potongan
dalam bentukhuruf ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dan segi
lafaznya. Allah SWT dan nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah
menjelaskannya sehingga setiap pembaca hanya akan mengatakan والله اعلم برده .
2.
Ayat-ayat yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta
dengan makhluknya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti
lughowinya, karena Allah SWT mahasuci dari pengertian yang demikian,
Umpamanya firman Allah SWT dalam surat al-Fath(48):10:
يدالله فوق أيديهم
Arti lughowi ayat tersebut: Tangan Allah berada diatas tangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Ahmad, 2009, Ushul Fiqih 2, Jakarta: kencana
Saiban, Kasuwi, 2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy, Malang: Kutub Minar
Wahbah Zuhaili,2000,Ushul Fiqih islami, Damskus: Darul fikr
Zainy Ma,shum,2008, Ilmu Ushul Fiqih,Jombang: Darul Hikmah
Ibnu Rusdy, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqtasid
[1] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (kencana,2009), hal:13
[2] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(kutub minar,2005), hal:66
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (kencana,2009), hal:13
[4] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(kutub minar,2005), hal:67
[5] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (kencana,2009), hal:16
[6] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(kutub minar,2005), hal:67
[7] Ibnu Rusdy, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-muqtasid, (usaha keluarga), hal: 254
[8] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih (kencana,2009), hal: 17
[9] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih (kencana, 2009), hal: 18
[10] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(kutub minar,2005), hal:68
[11] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqih Islami ( Darul fikr,2000), hal: 235
[12] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih (kencana, 2009), hal: 21
[13] Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqih Islami ( Darul fikr,2000), hal: 236
[14] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih (kencana, 2009), hal: 22
[15] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusdy(kutub minar,2005), hal: 76
[16] Amir Syarifudin. Ushul Fiqih (kencana, 2009), hal: 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar