TA'ARUDH ANTARA DZHAHIR, NASH, MUFASSAR, DAN MUHKAM
BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulilah segala puji bagi Allah SWT. yang senentiasa telah memberikan
rahmatnya bagi kita semua, Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita nabi besar Muhammad SAW. dan kepada seluruh keluarga dan
sahabatnya.
Pertentangan pendapat antara para ulama’ sebagaimana kita ketahui tentunya
merupakan hal yang memang semestinya terjadi karena hal tersebut memang merupakan
bagian dari sunnatullah. Namun bagaimana apabila pertentangan yang terjadi
terdapat pada nash – nash atau dalil – dalil yang datangnya dari sang Syari’? Apakah
sang Syari’ tidak konsisten dalam menyampaikan syari’atnya? bukankah ini
menjadi sebuah pertanyaan yang dapat timbul dimasyarakat? bagaimana kita
sebagai ummatnya menyikapi hal tersebut?
Dari sinilah kita perlu mengulas lebih dalam mengenai hal tersebut agar
tidak terjadi kesalah-pahaman diantara ummat muslim dan kita menjadi lebih siap
dalam menjawab dan menghadapi tantangan zaman. Melalui makalah yang berjudul
“Ta’arudh antara Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam” ini, penulis mencoba sedikit
menjelaskan sebetulnya pertentangan seperti apa yang terjadi.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Ta’arudh
Secara etimologi lafadz “Ta’arudh” berasal dari fi’il madli “ta’arodh'o”
yang berarti bertentangan atau berlawanan seperti yang diungkapkan oleh Dr.
Wahbah Zuhaily:
التعارض في
اللغة : هو اعتراض كل واحد من الأمرين الآخر, مأخوذ من أن كل أمر أصبح فى عرض
الآخر دون طوله.[1]
. Sedangkan secara terminologi, Ta’arudh berarti:
v
وفى اصطلاح الأصوليين : هو أن يقتضى أحد الدليلين حكما فى واقعة خلاف ما
يقتضيه الدليل الآخر فيها.[3]
v
التعارض بين الدليلين الشرعيين معناه فى اصطلاح الأصوليين إقتضاء كل واحد
منهما فى وقت واحد حكما فى الواقعة يخالف ما يقتضيه الدليل الآخر فيها.[4]
B. Bagian – bagian Ta’arudh
Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, maka terlebih dahulu ta’arudh perlu
dipahami bahwa ia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Ta’arudh antara
dalil – dalil dapat dilihat melalui lafal dari segi cakupannya, misalnya antara
dalil – dalil yang sama - sama bersifat ‘am, sama – sama bersifat khosh,
ataupun antara dalil yang bersifat ‘am dan khosh, baik dari satu sisi maupun
dari sisi yang berbeda – beda. Tetapi selain itu Ta’arudh juga dapat dilihat
melalui lafal dari segi kejelasannya dan inilah yang akan kita bahas dalam
makalah ini.
C. Ta’arudh antara Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam
Urutan yang tertulis diatas tidaklah menunjukkan urutan lebih jelas dan
lebih kuat dalilnya diantara dalil – dalil tersebut, jika kita urut mulai dari paling
jelas dan paling kuat dilalahnya maka itu dimulai dari Muhkam, Mufassar, Nash
dan terakhir Dzohir. Apabila terjadi pertentangan diantara dalil - dalil
tersebut maka Nash didahulukan dari Dzohir, Mufassar didahulukan dari keduanya,
sedangkan Muhkam didahulukan yang lain, karena yang paling kuat itu seyobyanya
memang didahulukan dari yang lemah apabila terjadi ta’arudh.
1. Ta’arudh antara Dzohir dan Nash
“dan dihalalkan bagimu
selain (perempuan – perempuan) yang demikian itu ....”
“maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat ... “
Terdapat
pertentangan diantara kedua dalil ini. Dalil yang pertama, merupakan Dzohir
berupa halalnya menikahi lebih dari satu istri secara muthlaq, sedangkan dalil
yang kedua merupakan nash pada batas maksimal halalnya menikahi empat istri dan
haramnya lebih dari itu. Maka dalam hal ini yang diunggulkan adalah dalil yang
kedua, karena dalil nash lebih kuat dari dalil Dzohir, dan mengamalkan yang
lebih jelas dan kuat itu lebih utama dan lebih pantas.
2. Ta’arudh antara Nash dan Mufassar
v
المستحاضة
تتوضء عند كل صلاة
v أن النبي صلى الله عليه وسلم قال
لفاطمة بيت أبي حبيش : تتوضئى لوقت كل صلاة
Hadits pertama merupakan Nash yang menunjukkan wajibnya wudlu’ bagi orang
yang Istihadloh untuk setiap sholat sekalipun dilakukan seketika, misalnya
melakukan dua wudlu’ pada waktu dzuhur yang digunakan untuk sholat dzuhur dan
‘ashar. Sedangkan dalil atau hadits yang kedua merupakan Mufassar yang tidak
memungkinkan adanya ta’wil didalam kewajiban wudlu’ pada waktu setiap sholat
sekalipun jumlahnya lebih dari satu sholat. Maka terjadilah pertentangan
diantara kedua hadits ini -di dalam hal kefarduan sahnya yang kedua- dan yang
diunggulkan adalah hadits yang kedua karena merupakan mufassar, dan mufassar
lebih kuat dan jelas dari pada Nash.
3. Ta’arudh antara Mufassar dan Muhkam
Seperti yang
dikemukakan oleh para Muhaqqiqin, bahwa tidak ditemukan contoh ta’arudh
diantara keduanya. Namun sebagaian ‘Ulama’ mencontohkan didalam urusan kesaksian dan dalam hal orang yang dihukum karena
menuduh zina dalam firman Allah:
v
وأشهدوا ذوى
عدل منكم ... الآية[7]
“dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu ...”
v ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا ... الآية[8]
“dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya ...”
Ayat yang pertama merupakan Mufassar hanya memuat penerimaan kesaksian
orang yang adil, yang berarti orang yang dihukum karena menuduh zina itu
diterima kesaksiannya apabila ia tobat, karena setelah ia tobat ia dianggap
adil. Sedangkan ayat yang kedua merupakan Muhkam karena
adanya keterangan yang jelas mengenai ketetapan terus – menerus didalamnya yang
berarti kesaksian orang tersebut tetap tidak diterima walaupun ia bertobat.
Maka yang diunggulkan adalah yang kedua, yakni tidak diterimanya kesaksian
orang yang dihukum karena menuduh zina sekalipun ia bertobat.
4. Ta’arudh antara Muhkam dan Nash
v
وأحل لكم ما وراء ذلكم
“dan tidak boleh kamu
menyakiti (hati) rosulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri – istrinya
selama-lamanya setelah (nabi wafat) ... “
Ayat pertama merupakan Nash didalam
halalnya menikahi siapa saja selain yang
diharamkan yang telah disebutkan sebelumnya, dan itu
mencakup istri – istri nabi SAW. Sedangkan ayat yang kedua merupakan ayat
muhkam, yang tidak memungkinkan adanya Naskh ataupun Tabdil, yang berarti
haramnya menikahi istri nabi. Maka dalam hal ini Ayat Muhkamlah yang
didahulukan.
5. Ta’arudh antara Muhkam dan Dzohir
v
وما كان لكم أن
تؤذوا رسول الله , ولا أن تنكحوا أزواجه ن بعده أبدا ... الآية
v فانكحوا ما طاب
لكم من النساء
Ayat pertama Muhkam pada haramnya menikahi istri - istri nabi, sedangkan
yang kedua Dzohir dalam hal diperbolehkannya menikahi wanita manapun, maka yang
didahulukan adalah ayat yang Muhkam.
Bila ditinjau dari contoh yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Tarjih
atau pengunggulan di antara dua dalil hanya terdapat pada dalil – dalil yang
sama derajatnya seperti antara dua ayat atau dua hadits. Jika tidak demikian, maka tidak dianggap terjadi Ta’arudh dan
Tarjih, seperti firman Allah dan hadits nabi sebagai berikut:
v
فإن طلقها فلا
تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره ... الآية[10]
“kemudian jika dia menceraikannya
(setelah talaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya sebelum dia
menikah dengan suami yang lain ... “
v لا نكاح إلا بوليّ
“Nikah hanya sah bila
dengan seorang wali”
Memang hadits
tersebut merupakan Nash bahwa seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya
sendiri, dan yang didahulukan adalah ayat diatas secara mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Jika terjadi pertentangan atau Ta’arudh diantara dalil – dalil dari segi
kejelasannya yakni Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam, maka dalil yang lebih
kuat dan jelaslah yang didahulukan atau di tarjih. Yaitu Nash didahulukan dari
Dzohir, Mufassar dari keduanya, dan Muhkam dari semua yang disebutkan tadi.
Ta’arudh dan Tarjih hanya terdapat
pada dalil – dalil yang sederajat, misalnya antara dua ayat atau dua hadits.
Jika tidak demikian maka tidak dianggap terjadi ta’arudh dan tarjih, yang
secara otomatis dalil yang lebih tinggi derajatnyalah yang digunakan.
Perlu diketahui, bahwa ta’arudh secara haqiqi antara dalil – dalil tersebut
tidak pernah ditemukan, apabila memang ada pertentangan maka itu hanyalah
pertentangan secara dzohir saja yang muncul dalam pikiran kita. Karena memang
tidak mungkin suatu dalil yang berasal dari sang Syari’ yang satu dan maha
menghukumi, menuntut suatu hukum dalam satu objek, yang dituntut dengan hukum
berbeda oleh dalil yang lain dalam waktu yang bersamaan. Maka apabila ditemukan
pertentangan – pertentangan ini maka wajiblah bagi seorang mujtahid untuk
menyelesaikan masalah tersebut dan sebisa mungkin menghindari atau
menghilangkan adanya pertentangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili,
Wahbah, Ush-l al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001
Al-Khudlari,
Muhammad, Ush-l al-Fiqh, Kairo : Al-maktabah Al-Taufiqiyah
Khallaf,
Abd al-Wahhab, ‘Ilmu Ush-l al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikri al-Arabi, 1996
[1] Al-Zuhaili, Wahbah, Ush-l
al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001, hal. 1201
[2] Al-Khudlari, Muhammad, Ush-l
al-Fiqh, Kairo : Al-maktabah Al-Taufiqiyah, hal. 416
[3] Al-Zuhaili, Wahbah, Ush-l
al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001, hal. 1201
[4] Khallaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilmu
Ush-l al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikri al-Arabi, 1996, hal. 214
[5] Al-Quran, surat al-Nisa’
: 24
[6] Al-Quran, surat al-Nisa’
: 3
[7] Al-Qur’an, surat
al-Thalaq : 2
[8] Al-Qur’an, surat al-Nur :
3
[9] Al-Qur’an, surat al-Ahzab
: 53
[10] Al-Qur’an, surat
al-Baqoroh : 230
Tidak ada komentar:
Posting Komentar