IJTIHAD PASCA IMAM MADZHAB
BAB I
A.PENDAHULUAN
Ijtihad pasca imam mazhab, secara langsung melàlui tangan para
murid yang telah berhasil menyusun hasil Ijtihadnya dalam bentuk kitab fiqh
sebagai panduan beramal. Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang
dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan datang, ia merupakan sumber
ketiga ajaran Islam setelah Al-,Quran dan Hadis, inilah yang membuat Islam
dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman (shalihun likulli zaman wa makan).
Pandangan yang menitik beratkan tentang
ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab
adalah adanya proses pembukuan ushul fiqh, berupa kitab matan, syarh,
ataupun mukhtashar, yang sebelumnya di promotori oleh al-Syafi’i, hal demikian begitu juga serupa dengan fiqh. Ijtihad di periode ini lebih banyak dengan proses karya ilmiyahnya, mengingat kualitas dan kridibelitas
yang tak sejajar dengan mujtahid periode
sebelumnya(mazhab).
B.LATAR
BELAKANG
Penulisan makalah ini di latar belakangi
karena sebagai bentuk pemenuhan tugas mata kuliah ushul fiqh yang di bimbing
oleh Prof. Dr. Kasuwi Saiban Mag. Di lain sisi penulisan makalah ini di
wujudkan karena sebagai bahan tolak ukur
pembelajaran, seberapa besar pengetahuan dan abilitas penyerapan ilmu
pengetahuan yang tertuangkan dalam bentuk jurnalistik atau karya ilmiah. Selain
itu juga adanya ghirroh atau dorongan yang kuat dalam menuntut ilmu
pengetahuan yang tiada habisnya.
spesifiknya lebih mengacu pada kajian ilmu ushul fiqh, yang kali ini mendalami
dalam tema ijtihad pasca imam mazhab.
C.RUMUSAN
MASALAH
Pasca kurun imam-imam mazhab berakhir,
ulama’ beranggapan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup dan sangat di mustahilkan untuk berijtihad, serupa hal demikian
terjadilah fase yang di namakan fase disintegrasi atau masa taklid
dan konsolodasi mazhab.Dengan adanya hal ini, apakah benar pintu ijtihad telah
tertutup pasca imam mazhab?, bagaimana bentuk ijtihad pasca imam-imam mazhab?.
D.MANFAAT DAN
TUJUAN.
Harapan penulis, makalah ini bermanfaat, bisa
di pergunakan sebagai mana mestinya dan sebagai bahan interview pemikiran dalam proses
ta’allum al-tarbiyyah al-islami atau sebagai muqorin(pembanding) pada
sumber-sumber yang ada, sehingga kita bisa termotivasi untuk bisa lebih baik
dari pada sebelumnya atau sejajajar dari pada sebelumnya(khoirin au mitsliha),
supaya kita tidak tergolong dari orang-orang yang rugi,”man kana yaumuhu
khoirun min amsihi fahuwa robihun……”.
E.METODE
PENULISAN
Literatur penulisan makalah ini berdasarkan
pada sistmatika pada buku-buku adopsi yang ada, lebih mengacu pada sisi
historisitas yang berlangsung dan termaktub pada sumber-sumber yang ada, selain
itu dalam pengembangannya penulis juga menggunakan metode eksploratif deduktif.
BAB II
PEMBAHASAN
Ijtihad Pasca Imam Imam Mazhab
A.Sekilas pandangan tentang ijtihad dan mujtahid.
Secara
etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti:
kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu”
(dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”;
kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri”
yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa
yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha
dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap
upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
1.Pembagian mujtahid.
a. Mujtahid Muthlaq, yaitu orang yang mampu menggali atau mengambil
hokum-hokum cabang dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan
dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan ijtihajnya.Mujtahid ini
terbagi menjadi dua ya’ni mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib[2].
b. Mujtahid Mazhab, Mujtahid ini juga terbagi menjadi dua macam, ya’ni
mujtahid takhrij dan mujtahid tarjih[3].
2. Sekilas pandangan tentang ijtihad pasca imam
mazhab.
Banyak yang
mengatakan bahwa pintu ijtihad masa
pasca imam-imam mazhab telah tertutup, hal yang di maksud demikian adalah tertutupnya berijtihad membuat dasar
hokum(hujjah) baru atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut dikarenakan
minimnya seseorang yang mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka, namun
hakikatnya adalah bukan berarti sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena hokum
itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan keadaan, jadi ada besar
kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan untuk bisa
mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
Setelah
mujtahid mazhab(mutlaq muntasib) berakhir, bukan berarti pintu ijtihad tertutup,
namun yang bisa diijtihadi oleh ulama’ pasca imam mazhab tidak sejajar dengan mereka
, tidak mudah bahkan mustahil seseorang
membuat mazhab sendiri(ana mujtahidul mazhab)[4].
Karena sumber-sumber hokum sudah di paparkan semuanya oleh mereka (mujtahid
mazhab), ijtihad yang bisa dilakukan pasca ini adalah dengan metode penuqilan
dan muqoronatul mazahib.
B.Sejarah dan Aktifitas Tasyri’ Pasca Imam Imam Mazhab.
Masa pasca
masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni; masa taklid dan konsolidasi
mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan
kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau moder n.
1. Masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase
disintegrasi.
Periode
berlangsung dari abad (ke-IV H) hingga jatuhnya Baghdad (VII H). Pada periode
ini, aktifitas tasyri’ hanya berkutat pada era taklid dan pensyarahan hasil
ijtihad para mujtahid periode sebelumnya(era imam imam mazhab). Di sisi politik
, pada periode ini memunculkan beberapa kejadian -kejadian penting; yang
dimulai dengan pengaruh Bani Buwaihi(334-447H/945-1055M)yang menguasai
Persia kemudian, dilanjutkan oleh Bani
Saljuk(447-656H/1055-1258M) yang di
pmpin oleh Nizamul Mulk dan di kalahkan oleh Dinasti Hasysyasyin pimpinan
Hasan Ibnu Sabah , meskipun Bani Saljuk sempat berdiri lagi namun
akhirnya di kalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urbanus II(1096-1099)[5],
dan di tutup oleh penyerbuan besar -besaran dari pasukan Mongol yang
membuat Baghdad hancur. Periode ini berlangsung sekitar 4 abad , yaitu di mulai
munculnya Bani Buwaihi di pemerintahan ‘Abbasiyah pada pertengahan abad ke 4
hingga runtuhnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah
sekaligus pusat peradaban Islam pada abad ke 4[6].
1).Masa Taklid.
Semangat dan
kemerdekaan ijtihad yang marak mewarnai aktifitas tasyri’ di berbagai periode
sebelumnya, seolah-olah lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang
justru menjadi titik awal kemunduran tasyri’, ya’ni taklid. Kalaupun
ditemukan, adanya hanya praktek ijtihad yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tasyri’
generasi ini, namun yang ada hanyalah mujtahid muqoyyad atau mazhab[7].
mujtahid ini terbagi menjadi dua bagian, ya’ni Mujtahid Takhrij(Mujtahid
Asbab al- Wurud), dan Mujtahid Tarjih(Mujtahid Fatwa)[8]
yang lebih jelasnya pada sub bab berikutnya.
Faksionalisme
atau sektarisme(pengelompokan) Mazhab juga tak dapat terelakkan. Tradisi ini
berkembang pesat menjamah hamper ke setiap sudut wilayah Islam, walaupun
pada saat itu fenomena faksionalisme mulai mengerucut hanya pada
empat Mazhab Sunni(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan beberapa corak dari
Mazhab Syi’ah. Mazhab-mazhab itulah yang perode ini mulai menampilkan bentuknya
yang sistematis dan mapan, sedang mazhab-mazhab lain seperti al-Auza’I, Sufyan
al-Tsauri, Ibn Abi Laila, Abu Tsaur, dan Laits ibn Sa’d, sedikit-demi sedikit
terkikis dan akhirnya hilang dari peredaran.Sejumlah tokoh-tokoh fiqh ternama
juga lahir di peiode ini, terutama di periode Bani Saljuk dan Dinasti
Fathimiyah di Mesir, seperti al-Karkhi, al-Juwaini, Imam al-Haramain,
al-Ghazali, Ibn al-‘Arabi, Ibn Rusyd, Abu Ishaq al-Isfirayini, al-Rafi’I,
al-Nawawi, dan lain lain.
Selanjutnya, fenomena taklid dan faksionalisme mazhab
menjadi ciri khas tersendiri di awal era ini. Kemudian tradisi penambahan
atribut berupa nama mazhab yang ditempatkan dibelakang nama pribadi tokoh
tertentu mulai menjamur, seperti sebutan al-Syafi’I dan al-Syafi’iyyah bagi
pengikut mazhab Syafi’I, al-Hanafi dan al-Ahnaf bagi pengikut mazhab Hanafi,
al-Maliki dan al-Malikiyah bagi pengikut mazhab Maliki, dan al-Hanbali dan
al-Hanabilah bagi pengiku mazhab Hanbali.[9]
Selain kedua
karakter diatas, ciri utama tasyri’ era ini adalah dimulainya babak baru dikotomi
syari’at dari sistem hokum Negara yang terjadi pasca intervensi politis
Bangsa Mongol atas wilayah Islam.Bangsa Mongol tidak lagi membolehkan berkembangnya
syari’at sebagai undang-undang karena di nilai berpotensi subversif[10].
a.Tradisi taklid .
Yang
dimaksud dengan taklid disini adalah totalitas penerimaan rumusan hokum
syari’at Islam dari seorang imam tertentu, dan anggapan bahwa ketetapan itu
muthlak harus di ikuti oleh muqollid, seolah-olah ada dalil nash yang
mewajibkan hal itu[11].
Dalam mendeskripsikan
kondisi tasyri’ di periode ini, al-Hajwi berkata,”tradisi taklid telah
menguasai para ‘ulama’. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi
ini terus berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang.
Puncaknya terjadi pada pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu
mayoritas ‘ulama’ tela puas dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah,
Malik, al-Syafi’i, dan Hanbal……. Kontribusi pemikiran imam-imam tersebut di
nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak berani mereka tentang”[12].
Senada
dengan al-Hajwi, Farouq Abu Zaid mengatakan, “Kondisi rapuh yang menimpa
dunia Islam semenjak pertengahan abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan
Abbasiyah di Baghdad membawa dampak yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya,
tertutuplah pintu ijtihad dan terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian
semangat taklid di kalangan pakar fiqh. Dalam menyikapi berbagai permasalahan
dan fenomena masyarakat, mereka tidak lagi melakukan isthinbath al-ahkam secara
langsung dari sumber hokum, al-Qur’an hadis. Mereka lebih suka mengikat diri
dengan pemikiran-pemikiran atau
pendapat-pendapat pendahulunya[13].
b. Sebab-Sebab Taklid
Tumbuh dan
berkembangnya mentalitas taklid pada periode ini di sebabkan oleh beberapa faktor,
baik internal atau eksternal. Diantara sebagian kecil faktor tersebut ialah[14];
a. Instabilitas sosial politik.
b.
Rumusan hokummazhab fiqh dianggap sudah pari purna.
c.
Fanatisme bermazhab(Ta’ashshub).
d.
Melemahnya semangat ijtihad.
e.
Tertutupnya pintu ijtihad.
2). Konsolidasi Mazhab.
Dalam hal
ini, Khudlori Bik menyebutkan tiga fokus aktifitas tasyri’ ilmiyah
pakar-pakar fiqh periode ini; pertama, menganalisa alasan hokum(illat)
yang dideduksikan oleh imam mazhab;kedua, mentarjih(menyeleksi) berbagai
pendapat mazhab ;ketiga, pembelaan terhadap eksistensi mazhab[15].
Fokus
pertama lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, dengan cara:
memanfaatkan pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan
permasalahan yang pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta
memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad.
Dari sinilah dikenal isthilah mujtahid mazhab dan mujtahid takhrij. Termasuk
dalam kategori pertama (mujtahid mazhab[16])
adalah; al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah), Ibn al-Qosim dan Ashab(Malikiyah),
al-Buwaithi dan al-Muzani(Syafi’iyah). Sedangkan kategori kedua(mujtahid
takhrij) adalah; al-Khashaf, al-Thahawi, dan al-Karkhi(Hanafiyah),
al-Lakhmi, Ibn al-‘Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah), dan al-Ghazali serta Ishaq
al-Isfirayini(Syafi’iyah)[17].
Fokus kedua
adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua
pendekatan, ya’ni dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa
substansi hokum). Dari kedua corak ini,dalam fiqh kemudian dikenal dengan ahl al-tarjih atau
mujtahij tarjih. diantara ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn
‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal,
ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam
al-Haramain[18].
Fokus ketiga adalah upaya mengukuhkan eksistensi
mazhab(konsolidasi mazhab) dengan cara mengekspos atau mempublikasikan
keunggulan dan kelebihan imam mazhab serta dengan mengetahkan argument sebagai
bukti akurasi hasil ijtihad imam mazhab dan mencari titik kelemahan pendapat
hokum yang bersebrangan dengan imam masing-masing[19].
Selain ketiga
fokus di atas, aktifitas lainya pada periode ini adalah upaya sistematika
hokom-hokum fiqih setiap mazhab, dengan mendokumentasikan dan menuliskan
pemikiran mazhab, membuat komentar(syarh), meringkas(mukhtashar),
menguraikan kemusykilan berikut kontraversinya(baik antara imam mazhab dengan
muridnya ataupun dengan imam mazhab lain)[20] , dengan kata
lain, aktifitas tasyri’ selain dari ketiga fokus di atas di periode
ini adalah;
a. Penulisan
Fiqh.
Dalam perkembangannya, sistematika ini
hanya berafiliasi pada kitab induk, seperti al-Mudawwamah wa
al-Mukhthalithah oleh Suhnun(w.240) murid ‘Ali ibn al-Qasim(murid
Asad) revisi dari buku al-Asadiyah
oleh Asad ibn al-Furat(w.212). Mereka adalah pengikut mazhab Maliki dari Afrika
Utara. Kemudian kitab al-Wadi’ah oleh ‘Abd al-Malik ibn al-Hubaib, dan al-‘Uthbah
oleh al-‘Uthbi(murid ‘Abd al-Malik ibn al-Hubaib).
Sedangkan dari mazhab Syafi’i, buku
induknya ialah al-Umm karya imam Syafi’i, serta al-Buwaithi dan
al-Muzani, kedua-duanya mengarang kitab yang judulnya sama,ya’ni al-Mukhtashar.
Ketiga kitab tersebut memuat pemikiran fiqh Syafi’iyah ketika di Mesir, atau
biasa di kenl dengan “qaul jadid”.
Sedangkan dari mazhab Hanbali, buku fiqh
yang paling masyhur pada msa ini ialah al-Mughni karya Ibn al-Quddamah(w.620 H)
dari Damaskus yang memuat berbagai macam persoalan fiqh mazhab Hanbali tebalnya
kisaran 10 jilid[21].
Hingga ‘Izz al-Din ibn’Abd al-Salam berkomentar ”Aku tidak puas
dengan berbagai fatwa sampai aku memiliki al-Mughni”.
b. Perkembangan dan Penulisan Ushul Fiqh.
Perjalan ushul fiqh pasca imam Syafi’i
mengalami perjalanan signifikan di karenakan adanya masa taklid dan konsolidasi
di antara mazhab-mazhab, sejalan dengan hal ini kajian tentang ushul fiqh hanya
mengkaji ulang yang ada, kemudian mencurahkan segenap pemikiran untuk saling
menguatkan pendapat mazhab tersebut[22].
Literatur penulisan yang mendominasi di
pdriode ini terbagi menjadi dua corak. Pertama, ushul fiqh
mutakallimin yang banyak dilakukan ulama’ kalam, dengan landasan
bahwa materi ushul fiqh memiliki
keterikatan dengan permasalahan furu’iyah, dengan sistematika menitik beratkan
pada pentahqiqan(editorial) dan pemaparan argumentasi rasional sebagai
bukti kevalidan setiap dalil fiqh tanpa mendeskripsikan persoalan fiqhnya,
karenanya ushul fiqh tidak tunduk kepada fiqh, melainkan fiqh yang harus
menyelaraskan dengan kaidah ushul. Kedua, ushul fiqh Hanafiyah, yang
banyak di pakai oleh kalangan ulama’ Hanafiyah, dalam metodiknya mereka
lebih menekankan pada persoalan-persoalan furu’iyah, dengan ungkapan lain
analisa ushul fiqh sengaja dilakukan untuk memperkuat atau menjustifikasikan
fiqh mazhab. Karena sifatnya yang demikian, ushul fiqh cenderung tunduk pada
fiqh dan tidak menutup kemungkinan berubahnya hokum fiqh sesuai perubahan yang
telah ada[23].
a). Buku- Buku Ushul Fiqh Mutakallimin.
Mula-mula yang di jadikan pijakan adalah al-Risalah,
dengan adanya komentar(syarh) dan penjelas isi al-Risalah, dintaranya
oleh; Abu Bakr al-Syairafi(330H), Abu al-Walid Muhammad ibn ‘Abd Allah
al-Naisaburi(w.365H), dan untuk masa baru ini oleh Imam al-Haramain(478H) dan
Muhammad Syakir. Setelah dua abad ke II , metode penulisannya berformat sistem
naql [24],
kemudian dengan metode baru dengn format naql dengan banyak penguraian. Diantara
kitab-kitab ini adalah al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil fi
Bayan Masalik al-Ta’lil, dan al-Mushtashfa karya Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali(w.505H), murid Imam al-Haramain. Ketiga karya ini
merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi dan tak bisa di pisahkan. Hanya
saja yang paling terkenal dan di publikasikan adalah al-Mushtashfa yang terdiri
dari dua jilid.
Perlu di ketahui bahwa buku-buku ushul
fiqh mutakallimin adalah gabungan dari beberapa mazhab, baik mazhab teologi
yang diwakili Mu’tazilah ataupun dengan
mazhb fiqh, berbeda dengan ushul fiqh Hanafiyah atau fuqoha’ yang hanya di dominasi oleh mazhab hanafiyah
saja.
b). Buku- Buku Ushul Fiqh Hanafiyah
Buku ushul fiqh yang menggunakan metode ushul fiqh Hanafiyah
pertama kali di tulis sepertiga pertama abad IV oleh Muhammad ibn Mahmud,
yang populer dipanggil Abu Manshur al-Maturidi(w.333H), pendiri mazhab
teolog al-Maturidiyah dengan judul Ma’akhidz al-Syarai’ yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan
pertama kali yang menulis buku-buku ushul fiqh Hanafiyah dari aliran mazhab
Hanafiyah ialah Abu al-Hasan al-Karkhi(w.340H) yang berjudul Risalah
al-Karkhi yang populer dikenal dengan Ushul al-Karkhi yang juga masih
berupa manuskrip.
c. Perkembangan dan Penulisan Kaidah Fiqhiyah
Muhammad Yasin al-Fadani, mengatakan bahwa tokoh yang
pertama kali membuka pintu diskurs kaidah fiqh adalah Abu Thahir al-Dabbasi
dari mazhab Hanafiyah, yang mengemas ke dalam 17 kaidah termasuk “al yaqinu
la yuzalu bi al-syak” , kemudian di susul oleh al-Qadli Husain dari mazhab
Syafi’iyah yang membagi menjadi 4 kaidah pokok ya’ni; al-yaqinu la yuzalu bi
al-syak, al-masyaqqotu tajlibu al-taisir, al-dlararu yuzalu, dan al ’adatu
muhakkamah[25].
Sementara itu, ‘Ali Jum’ah mengatakan
bahwa buku pertama kali kaidah fiqhiyah adalah Risalah al-Karkhi(w.340H)
yang merumuskan 36 kaidah fiqh mazhab Hanafi, yang masing-masing dinmai al-ushul
.dan 17 diantaranya adalah koleksi Abu Thahir, yang kemudian ia
kembangkan menjadi 36 kaidah[26].
Sekitar
satu abad berikutnya, tokoh Malikiyah juga aktif mengembangkan dan menulis
kaidah fiqh, ‘Abd al-Wahab al-Baghdadi(w.422H) dikenal sebagai penulis pertama
kali kaidah fiqh dari Malikiyah yang berjudul al-Nadlair, kemudian Ahmad ibn
Idris al-Qarafi(w.684) dengan judul Anwar al-Buruq fi al-Furuq yang memuat 548
buah kaidah.
Sedangkan
mazhab Hanbali boleh dibilang tertinggal dari ketiga mazhab lainya, di akhir
periode ini Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Samuri(w.616)
tampil sebagai pelopor penulisan buku kaidah fiqh mazhab Hanbali yang di beri
judul al-Faruq.
d. Dialektika Mazhab, Embrio Ilmu Jadal
Dialektika dan perdebatan hokum antar mazhab
memang sudah muncul bersamaan dengan munculnya mazhab itu sendiri. kita tentu
masih ingat perdebatan antara al-Syafi’I dan Muhammad ibn al-Hasan
al-Syaibani(murid Abu Hanifah di Irak), atau polemic antara Malik di Madinah
dan Laits ibn Sa’d di Mesir yang terjadi pada masa Abbasiyah I. Hanya saja,
perdebatan yang terjadi saat itu tidak sampai menimbulkan pertikaian dan
permusuhan, masing-masing mujtahid termotivasi untuk mencari solusi hokum yang
benar untuk menghasilkan rumusan hokum
syari’at hokum yang valid dan sesuai dengan kandungan nash dan tuntutan
syari’ah. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, al-Syafi’i sering
memuji Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, padahal ia pakar hadis yang juga
tokoh rivalnya al-Syafi’I dalam setiap forum diskuisi. “aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar dari Muhammad ibn
al-Hasan”, demikian kata al-Syafi’i[27].
Berbeda dengan dealektika yang terjadi di era
ini, motivasi yang ditujukan hanya pada pembelaan mazhab masing-masing, bahkan
ada yang sengaja pamer kebolehan berdebat untuk meraih pujian, dan penghargaan
dari pemerintah[28].
Bahkan ketika masa Buwaihi terjadi pertikaian antara Sunni dan Syi’ah yang
mengakibatkan pertumpahan darah, pada masa ini juga terjadi perdebatan
khilafiyah fiqh antara Syafi’iyah, Malikiyah, danHanafiyah, sedangkan Hanabilah
dan mazhab-mazhab lain kurang mendapatkan perhatian serius.
Ibnu Khaldun mengatakan: ”sungguh, khilafiyah
adalah ilmu yang mulia dan bermanfaat untuk mengetahui sumber pengambilan hokum
para imam serta dalil yang digunakan. Orang yang berusaha menelaahnya akan
terlatih dalam mengemukakan pemikiran yang di inginkan[29].
Dalam konteks
khilafiyah ini, terdapat beberapa buku metode berdebat, diantaranya
ialah al-Tajrid karya Abu Hasan al-Baghdadi(w.428), al-Ma’akhidz
karya al-Ghazali, al-Ta’liqat karya Abu Zaid al-Dabusi, dan ‘Uyunu
al-‘Adilah karya Ibn al- Qashar.
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu
dialektika adalah sebagi disiplin ilmu
pengetahuan tentang pedoman atau kaidah-kaidah berdebat, baik yang
mempertahankan pendapat ataupun yang menolaknya, baik yang berhubungan dengan
yurisprudensi(ijtihad) maupun masalah lainnya. Buku pertama ilmu jadal adalah
al-Irsyad karya ‘Umaidi dengan format yang ringkas[30].
2. Periode masa
stagnasi dan kemunduran tasyri’dan
kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad)
hingga masa sekarang atau (656 -Abad 15 H/ 1258-Abad 21M).
1). Periode masa stagnasi dan
kemunduran tasyri’
Periode masa
stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi taklid yang tumbuh pada masa
sebelumnya , di susul kemudian dengan masa kebangkitan atas kesadaran umat dari
ketertinggalan mereka di berbagai bidang. Masa stagnasi yang berlangsung hingga
kisaran abad ke 12 merupakan masa ketika umat Islam hanya mengandalkan pemikiran imam -imam mazhab terdahulu. Khudlari bik mengatakan, “Tidak ada seorangpun
yang(pasca periode imam mazhab) yang mencapai skill mujtahid kecuali hanya
sedikit dari mereka”[31].
Ulama’ yang bisa menggantikan mereka di antaranya; ‘Izz al-Din ibn ‘Abd
al-Salam[32](w.660H),
Ahmad Ibn Taimiyah(w.728H), Taqi al-Din al-Subqi(w.756H), Taj al-Din
al-Subqi(w.756H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah(w.751H), Jalal al-Din
al-Mahalli(w.864), Jalal al-Din al-Suyuthi(w.911H),dan lain sebagainya.
I.Hal-hal yang menyebabkan stagnasi
i.
Hancurnya Baghdad.
Secara praktis karena kota Baghdad dihancurkan oleh
tentara mongol yang merupakan kota kebudayaan dan pengetahuan Islam,
berpengaruh hebat bagi kemunduran Islam pada periode berikutnya, di samping itu
juga, buju-buku perpustakaan dibakar dan juga karena adanya kendali di bawah
orang-orang komunis.
ii.
Miskomunikasi ulama’.
Kondisi semacam ini sangat kontras di era ini, Ulama’
Mesir jarang yang kenal dengan Ulama’ Syam, begitu juga sebaliknya, di samping
itu juga semangat berbagi keilmuan mulai berkurang, di samping pancaran cahaya
yang sudah mulai meredup.
iii.
Intervensi ilmu-ilmu non-syari’at
Masuknya penjajah eropa menjadikan dikotomi antar
Negara dan syari’at(sekularisme), begitu juga undang-undang Islam diganti
dengan undang-undang versi barat, hal ini berlangsung hingga kini kecuali
segelintir dari Negara-negara Islam, seperti Saudi Arab(Hanbali),
Pakistan(Hanafi), Iran(Syi’ah Ja’fari).
2). Periode masa kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga
masa sekarang atau modern.
Munculnya
tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu al-Taimiyyah, dan
al-Syaukany-tanpa menghilangkan rasa hormat pada mereka, ternyata belum mampu
membangkitkan ghairah umat untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
Walhasil
kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , ya’ni ketika
intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam
masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu
ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hokum yang
bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi -diiskusi
membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh
pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin
al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf
Qardhawi, dan lain sebagainya .
Mujtahid ini biasa di kenal mijtahid
kontemporer, mayoritas metode yang mereka gunakan adalah dengan metode moqoronatul
mazahib. untuk lebih jelasnya akan
kita bahas pada pada tema selanjutnya.
Mungkin
hanya ini yang dapat kami(penulis) sampaikan, tentunya “tak ada gading yang
tak retak”, banyak kekurangan yang masih perlu di benahi, karena
itulah kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Wa Allahu a’lamu bi
al-shawab.
BAB III
KESIMPULAN
Banyak yang
mengatakan bahwa pintu ijtihad masa
pasca imam-imam mazhab telah tertutup, hal yang di maksud demikian adalah tertutupnya berijtihad membuat dasar
hokum(hujjah) baru atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut
dikarenakan minimnya seseorang yang mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka,
namun hakikatnya adalah bukan berarti sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena
hokum itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan keadaan, jadi ada besar
kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan untuk bisa
mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2
ya’ni; pertama, masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase
disintegrasi dan kedua, masa periode
masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode
pasca runtuhnya baghdad) hingga masa
sekarang atau modern. Bentuk ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab adalah;
1.mujtahid mutlaq
muntasib.
Hal ini ada sebagian ulama’ ada yang mengkategorikan
kedalam mujtahid mazhab. metode ijtihad ini lebih sering di lakukan
ulama’-ulama’ Hanafiyah, ya’ni dengan cara: memanfaatkan
pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan
yang pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan
kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad, menempuh jalan
yang di tempuh oleh imam mereka, tidak taklid pada imamnya, hanya saja
menggunakan keterangan imamnya untuk penelitian sumber pengambilannya, ulama’
yang termasuk dalam kategori ini (mujtahid mazhab) diantaranya adalah;
al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah),Ibn al-Qosim dan Ashab(Malikiyah), al-Buwaithi
dan al-Muzani(Syafi’iyah).
2. Mujtahid Mazhab takhrij.
Metode ijtihad
sama dengan metode yang dilakukan mujtahid muthlak muntasib, diantara tokoh
yang tergolong Mujtahid Mazhab takhrij adalah; al-Khashaf, al-Thahawi,
dan al-Karkhi(Hanafiyah), al-Lakhmi, Ibn al-‘Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah),
dan al-Ghazali serta Ishaq al-Isfirayini(Syafi’iyah).
3. Mujtahid Mazhab tarjih.
Metode ijtihad ini adalah dengan mentarjih atau
penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua pendekatan, ya’ni dari segi
periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hokum). Diantara
ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini,
pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah.
Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam al-Haramain.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyan, Ahmad ‘Ali, Tarikh Al-Tasyri’ Wa
Al-Fiqh Al-Islami, Riyadl, Dar
Eshbelia, 2001.
Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, Ter.
Ira Puspito Rini, Yogyakarta, Ikon Teralita, 2002.
Prof.
Dr. Muhaimin, MA Dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana, 2007.
Sirry
, Mun’im Ahmad, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya, Risalah Gusti, Cet.II,
1996.
Tim
KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, Lirboyo, FPPI, 2006.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,
Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.
Zahrah, Muhammad Abu , Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi,1958.
[2] Mujtahid muthlaq mustaqil adalah orang-orang yang mampu
menyusun metode dasar hokum agama, tidak taklid(mengikuti) dasar hokum orang
lain, mampu menggali hokum dari sumber pokoknya dan dalil yang di tetapkan
sebagai hujjah. Seperti imam-imam mazhab(mazhab arba’ah). Mujtahid muthlaq muntasib
adalah orang yang mempunyai derajat Mujtahid muthlaq mustaqil, hanya saja
mereka tidak menyusun sendiri, tetapi menempuh jalan yang di tempuh oleh imam
mereka, tidak taklid pada imamnya, hanya saja menggunakan keterangan imamnya
untuk penelitian sumber pengambilannya. Misalnya dari mazhab Syafi’I
al-Muzani(w.264) dan dari Hanafiyah al-Hasan ibn Ziyad(w.204).
Lihat: Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal.
188
[3] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan
Dan Wawasan Studi Islam, hal.188-189
[4] Dialog interaktif Gus M. Yusron
Assidqy, selasa(malam rabu) 3 Januari 2012 di Ma’had Ali al-HIkam Malang.
[5] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan
Dan Wawasan Studi Islam, hal. 228
[6] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah
Tasyri’ Islam, hal. 4
[7] Mujtahid muqoyyad atau mazhab adalah ulama’ yang mampu
mencetuskan hokum-hokum yang belum pernah di jelaskan oleh imam mazhab dengan
tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul mazhab, di antaranya; Ahmad Ibn ‘Umar
al-Kashsaf(w.261 M), Abu Ja’far Ahmad al-Thahawi(w.380 M), Abu Hasan
al-Karkhi(260-340), al-Halwani, al-Sarakhsi, Ahmad Ibn al-Hasan al-Barda’I, dan
Qadli Khan. Dari Hanafiyah; al-Abhari, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani. Dari
Malikiyah; Abu Ishaq al-Syairazi, al-Mawardi, Muhammad Ibn Jarir al-Thabari,
Abi Nashir, dan Ibn Huzaimah dari syafi’iyah, dan Abu ‘Ali Ibn Musa, Ibn ‘Ali
Ya’la dari Hanabilah. Kelas III Aliyah 1997 MHM, Mengenal Isthilah Dan Rumus
Fuqoha’(Lirboyo, Kediri:1997), hal 7;Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet.IV, 2002), juz
I, hal 63
[8] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan
Dan Wawasan Studi Islam, hal. 189
[9] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal
Usul Dan Perkembangan Fiqh, ter. M. Fauzi Arifin(Bandung: Nusa Media dan
Nuansa, 2005), hal. 140
[10] Karen Amstrong, Sepintas Sejarah
Islam, ter. Ira Puspito Rini(Yogyakarta:Ikon Teralita, 2002), hal.119
[11] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri’
al-Tasyri’ al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal. 323
[12] Ahmad ‘Ali ‘Ilyan, Tarikh
al-Tasyri’ wa al-Fiqh al-Islami(Riyadl:Dar
Eshbelia, 2001), hal. 273
[13] Lihat: Mun’im A.Sirry, Sejarah
Fiqh Islam(Surabaya :Risalah Gusti, Cet.II, 1996hal.128
[14] Lihat: ‘Ilyan, Tarikh, hal.
274-276; ‘Abd al-Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri’(Surabaya:al-Haramain,
Cet. VIII, tt), hal. 95-99; ‘Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasah
al-Mazahib al-Fiqhiyah(Kairo: Dar al-Salam, 2004), hal. 355-356; Philips, Asal,
hal. 149-150
[15] Khudlari, Tarikh, hal 320
[16] Atau sama saja dengan mujjtahid
muthlaq muntasib
[17] Khalaf, Khulashah, hal.
99-100
[18] Khalaf, Khulashah, hal. 101
[19] Lihat
:Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, hal. 301
[20] Lihat: Jum’ah, al-Madkhal, hal. 356
[21] Al-Maraghi, Pakar Fiqh, hal. 195-196
[22] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh(Dar al-Fikr
al-‘Arabi,1958), hal. 16-18
[23] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah
Tasyri’ Islam, hal. 305-306
[24] Secara etimologi adalah memindah, mengalih, mengutip.
Secara isthilah berarti pengutipan suatu pendapat atau nash dari sumbernya
secara langsung beserta riwayatnya.
[25] Al-
Fadani, al-Fawaid, juz.1, hal 70
[26] Lihat
:Jum’ah, al-Madkhal, hal 325
[27] Khudlari, Tarikh, hal.
233-234, bandingkan: Jum’ah, al-Madkhal, hal. 82.
[28] Khudlari, Tarikh, hal. 334
[29] khaldun, Muqaddimah, 587
[30] khaldun, Muqaddimah, hal.389
[31] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri’
al-Tasyri’ al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal.365-366.
[32] Perintis kaidah fiqhiyah 4 menjadi
menjadi satu ya’ni, “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalikh”.