assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh , sugeng rawuh poro pamiarso engkang wilujeng ,sehat wal afiat ...... amin /disini saya heri siswanto mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan anda agama: TA'ARUDH ANTARA DZHAHIR, NASH, MUFASSAR, DAN MUHKAM

Senin, 06 Mei 2013

TA'ARUDH ANTARA DZHAHIR, NASH, MUFASSAR, DAN MUHKAM

TA'ARUDH ANTARA DZHAHIR, NASH, MUFASSAR, DAN MUHKAM

BAB I

PENDAHULUAN

Alhamdulilah segala puji bagi Allah SWT. yang senentiasa telah memberikan rahmatnya bagi kita semua, Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW. dan kepada seluruh keluarga dan sahabatnya.
Pertentangan pendapat antara para ulama’ sebagaimana kita ketahui tentunya merupakan hal yang memang semestinya terjadi karena hal tersebut memang merupakan bagian dari sunnatullah. Namun bagaimana apabila pertentangan yang terjadi terdapat pada nash – nash atau dalil – dalil yang datangnya dari sang Syari’? Apakah sang Syari’ tidak konsisten dalam menyampaikan syari’atnya? bukankah ini menjadi sebuah pertanyaan yang dapat timbul dimasyarakat? bagaimana kita sebagai ummatnya menyikapi hal tersebut?
Dari sinilah kita perlu mengulas lebih dalam mengenai hal tersebut agar tidak terjadi kesalah-pahaman diantara ummat muslim dan kita menjadi lebih siap dalam menjawab dan menghadapi tantangan zaman. Melalui makalah yang berjudul “Ta’arudh antara Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam” ini, penulis mencoba sedikit menjelaskan sebetulnya pertentangan seperti apa yang terjadi.

BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Ta’arudh

Secara etimologi lafadz “Ta’arudh” berasal dari fi’il madli “ta’arodh'o” yang berarti bertentangan atau berlawanan seperti yang diungkapkan oleh Dr. Wahbah Zuhaily:
التعارض في اللغة : هو اعتراض كل واحد من الأمرين الآخر, مأخوذ من أن كل أمر أصبح فى عرض الآخر دون طوله.[1]
. Sedangkan secara terminologi, Ta’arudh berarti:
v     التعارض : أن يقتضى كل من دليلين عدم ما يقتضيه الآخر[2]
v     وفى اصطلاح الأصوليين : هو أن يقتضى أحد الدليلين حكما فى واقعة خلاف ما يقتضيه الدليل الآخر فيها.[3]
v     التعارض بين الدليلين الشرعيين معناه فى اصطلاح الأصوليين إقتضاء كل واحد منهما فى وقت واحد حكما فى الواقعة يخالف ما يقتضيه الدليل الآخر فيها.[4]

B. Bagian – bagian Ta’arudh

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman, maka terlebih dahulu ta’arudh perlu dipahami bahwa ia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Ta’arudh antara dalil – dalil dapat dilihat melalui lafal dari segi cakupannya, misalnya antara dalil – dalil yang sama - sama bersifat ‘am, sama – sama bersifat khosh, ataupun antara dalil yang bersifat ‘am dan khosh, baik dari satu sisi maupun dari sisi yang berbeda – beda. Tetapi selain itu Ta’arudh juga dapat dilihat melalui lafal dari segi kejelasannya dan inilah yang akan kita bahas dalam makalah ini.

C. Ta’arudh antara Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam

Urutan yang tertulis diatas tidaklah menunjukkan urutan lebih jelas dan lebih kuat dalilnya diantara dalil – dalil tersebut, jika kita urut mulai dari paling jelas dan paling kuat dilalahnya maka itu dimulai dari Muhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir. Apabila terjadi pertentangan diantara dalil - dalil tersebut maka Nash didahulukan dari Dzohir, Mufassar didahulukan dari keduanya, sedangkan Muhkam didahulukan yang lain, karena yang paling kuat itu seyobyanya memang didahulukan dari yang lemah apabila terjadi ta’arudh.

1. Ta’arudh antara Dzohir dan Nash

v     وأحل لكم ما وراء ذلكم  ... الآية[5]
“dan dihalalkan bagimu selain (perempuan – perempuan) yang demikian itu ....”
v     فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثني وثلاث ورباع  ... الآية[6]
“maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat ... “
Terdapat pertentangan diantara kedua dalil ini. Dalil yang pertama, merupakan Dzohir berupa halalnya menikahi lebih dari satu istri secara muthlaq, sedangkan dalil yang kedua merupakan nash pada batas maksimal halalnya menikahi empat istri dan haramnya lebih dari itu. Maka dalam hal ini yang diunggulkan adalah dalil yang kedua, karena dalil nash lebih kuat dari dalil Dzohir, dan mengamalkan yang lebih jelas dan kuat itu lebih utama dan lebih pantas.

2. Ta’arudh antara Nash dan Mufassar

v     المستحاضة تتوضء عند كل صلاة
v     أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لفاطمة بيت أبي حبيش : تتوضئى لوقت كل صلاة
Hadits pertama merupakan Nash yang menunjukkan wajibnya wudlu’ bagi orang yang Istihadloh untuk setiap sholat sekalipun dilakukan seketika, misalnya melakukan dua wudlu’ pada waktu dzuhur yang digunakan untuk sholat dzuhur dan ‘ashar. Sedangkan dalil atau hadits yang kedua merupakan Mufassar yang tidak memungkinkan adanya ta’wil didalam kewajiban wudlu’ pada waktu setiap sholat sekalipun jumlahnya lebih dari satu sholat. Maka terjadilah pertentangan diantara kedua hadits ini -di dalam hal kefarduan sahnya yang kedua- dan yang diunggulkan adalah hadits yang kedua karena merupakan mufassar, dan mufassar lebih kuat dan jelas dari pada Nash.

3. Ta’arudh antara Mufassar dan Muhkam

Seperti yang dikemukakan oleh para Muhaqqiqin, bahwa tidak ditemukan contoh ta’arudh diantara keduanya. Namun sebagaian ‘Ulama’ mencontohkan didalam urusan kesaksian dan dalam hal orang yang dihukum karena menuduh zina dalam firman Allah:
v     وأشهدوا ذوى عدل منكم ... الآية[7]
“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu ...”
v     ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا ... الآية[8]
“dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya ...”
Ayat yang pertama merupakan Mufassar hanya memuat penerimaan kesaksian orang yang adil, yang berarti orang yang dihukum karena menuduh zina itu diterima kesaksiannya apabila ia tobat, karena setelah ia tobat ia dianggap adil. Sedangkan ayat yang kedua merupakan Muhkam karena adanya keterangan yang jelas mengenai ketetapan terus – menerus didalamnya yang berarti kesaksian orang tersebut tetap tidak diterima walaupun ia bertobat. Maka yang diunggulkan adalah yang kedua, yakni tidak diterimanya kesaksian orang yang dihukum karena menuduh zina sekalipun ia bertobat.

4. Ta’arudh antara Muhkam dan Nash

v     وأحل لكم ما وراء ذلكم
v     وما كان لكم أن تؤذوا رسول الله , ولا أن تنكحوا أزواجه من بعده أبدا ... الآية[9]
“dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) rosulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri – istrinya selama-lamanya setelah (nabi wafat) ... “
Ayat pertama merupakan Nash didalam halalnya menikahi siapa saja selain yang diharamkan yang telah disebutkan sebelumnya, dan itu mencakup istri – istri nabi SAW. Sedangkan ayat yang kedua merupakan ayat muhkam, yang tidak memungkinkan adanya Naskh ataupun Tabdil, yang berarti haramnya menikahi istri nabi. Maka dalam hal ini Ayat Muhkamlah yang didahulukan.

5. Ta’arudh antara Muhkam dan Dzohir

v     وما كان لكم أن تؤذوا رسول الله , ولا أن تنكحوا أزواجه ؅ن بعده أبدا ... الآية
v     فانكحوا ما طاب لكم من النساء
Ayat pertama Muhkam pada haramnya menikahi istri - istri nabi, sedangkan yang kedua Dzohir dalam hal diperbolehkannya menikahi wanita manapun, maka yang didahulukan adalah ayat yang Muhkam.
Bila ditinjau dari contoh yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Tarjih atau pengunggulan di antara dua dalil hanya terdapat pada dalil – dalil yang sama derajatnya seperti antara dua ayat atau dua hadits. Jika tidak demikian, maka tidak dianggap terjadi Ta’arudh dan Tarjih, seperti firman Allah dan hadits nabi sebagai berikut:
v     فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره ... الآية[10]
“kemudian jika dia menceraikannya (setelah talaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain ... “
v     لا نكاح إلا بوليّ
“Nikah hanya sah bila dengan seorang wali”
Memang hadits tersebut merupakan Nash bahwa seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, dan yang didahulukan adalah ayat diatas secara mutlak.

BAB III

KESIMPULAN

Jika terjadi pertentangan atau Ta’arudh diantara dalil – dalil dari segi kejelasannya yakni Dzohir, Nash, Mufassar dan Muhkam, maka dalil yang lebih kuat dan jelaslah yang didahulukan atau di tarjih. Yaitu Nash didahulukan dari Dzohir, Mufassar dari keduanya, dan Muhkam dari semua yang disebutkan tadi.
 Ta’arudh dan Tarjih hanya terdapat pada dalil – dalil yang sederajat, misalnya antara dua ayat atau dua hadits. Jika tidak demikian maka tidak dianggap terjadi ta’arudh dan tarjih, yang secara otomatis dalil yang lebih tinggi derajatnyalah yang digunakan.
Perlu diketahui, bahwa ta’arudh secara haqiqi antara dalil – dalil tersebut tidak pernah ditemukan, apabila memang ada pertentangan maka itu hanyalah pertentangan secara dzohir saja yang muncul dalam pikiran kita. Karena memang tidak mungkin suatu dalil yang berasal dari sang Syari’ yang satu dan maha menghukumi, menuntut suatu hukum dalam satu objek, yang dituntut dengan hukum berbeda oleh dalil yang lain dalam waktu yang bersamaan. Maka apabila ditemukan pertentangan – pertentangan ini maka wajiblah bagi seorang mujtahid untuk menyelesaikan masalah tersebut dan sebisa mungkin menghindari atau menghilangkan adanya pertentangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaili, Wahbah, Ush-l al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001
Al-Khudlari, Muhammad, Ush-l al-Fiqh, Kairo : Al-maktabah Al-Taufiqiyah
Khallaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilmu Ush-l al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikri al-Arabi, 1996


[1] Al-Zuhaili, Wahbah, Ush-l al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001, hal. 1201
[2] Al-Khudlari, Muhammad, Ush-l al-Fiqh, Kairo : Al-maktabah Al-Taufiqiyah, hal. 416
[3] Al-Zuhaili, Wahbah, Ush-l al-Fiqh al-Islam, Beirut : Dar al-Fikri, 2001, hal. 1201
[4] Khallaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilmu Ush-l al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikri al-Arabi, 1996, hal. 214
[5] Al-Quran, surat al-Nisa’ : 24
[6] Al-Quran, surat al-Nisa’ : 3
[7] Al-Qur’an, surat al-Thalaq : 2
[8] Al-Qur’an, surat al-Nur : 3
[9] Al-Qur’an, surat al-Ahzab : 53
[10] Al-Qur’an, surat al-Baqoroh : 230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar