assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh , sugeng rawuh poro pamiarso engkang wilujeng ,sehat wal afiat ...... amin /disini saya heri siswanto mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan anda agama: Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

IJTIHAD PASCA IMAM MADZHAB

IJTIHAD PASCA IMAM MADZHAB


BAB I
A.PENDAHULUAN
    Ijtihad pasca imam mazhab, secara langsung melàlui tangan para murid yang telah berhasil menyusun hasil Ijtihadnya dalam bentuk kitab fiqh sebagai panduan beramal. Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat Islam sekarang dan yang akan datang, ia merupakan sumber ketiga ajaran Islam setelah Al-,Quran dan Hadis, inilah yang membuat Islam dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman (shalihun likulli zaman wa makan).
    Pandangan yang menitik beratkan tentang ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab  adalah adanya proses pembukuan ushul fiqh, berupa kitab matan, syarh, ataupun mukhtashar, yang sebelumnya di promotori oleh al-Syafi’i, hal demikian  begitu juga serupa dengan fiqh. Ijtihad di periode ini lebih banyak dengan proses karya ilmiyahnya,  mengingat kualitas dan kridibelitas yang tak sejajar dengan mujtahid periode sebelumnya(mazhab).
B.LATAR BELAKANG
    Penulisan makalah ini di latar belakangi karena sebagai bentuk pemenuhan tugas mata kuliah ushul fiqh yang di bimbing oleh Prof. Dr. Kasuwi Saiban Mag. Di lain sisi penulisan makalah ini di wujudkan  karena sebagai bahan tolak ukur pembelajaran, seberapa besar pengetahuan dan abilitas penyerapan ilmu pengetahuan yang tertuangkan dalam bentuk jurnalistik atau karya ilmiah. Selain itu juga adanya ghirroh atau dorongan yang kuat dalam menuntut ilmu pengetahuan  yang tiada habisnya. spesifiknya lebih mengacu pada kajian ilmu ushul fiqh, yang kali ini mendalami dalam tema ijtihad pasca  imam mazhab.    
C.RUMUSAN MASALAH
    Pasca kurun imam-imam mazhab berakhir, ulama’ beranggapan  bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan sangat di mustahilkan untuk berijtihad, serupa hal demikian terjadilah fase yang di namakan fase disintegrasi atau masa taklid dan konsolodasi mazhab.Dengan adanya hal ini, apakah benar pintu ijtihad telah tertutup pasca imam mazhab?, bagaimana bentuk ijtihad pasca imam-imam mazhab?.
D.MANFAAT DAN TUJUAN.
    Harapan penulis, makalah ini bermanfaat, bisa di pergunakan sebagai mana mestinya dan sebagai  bahan interview pemikiran dalam proses ta’allum al-tarbiyyah al-islami atau sebagai muqorin(pembanding) pada sumber-sumber yang ada, sehingga kita bisa termotivasi untuk bisa lebih baik dari pada sebelumnya atau sejajajar dari pada sebelumnya(khoirin au mitsliha), supaya kita tidak tergolong dari orang-orang yang rugi,”man kana yaumuhu khoirun min amsihi fahuwa robihun……”.  
E.METODE PENULISAN
    Literatur penulisan makalah ini berdasarkan pada sistmatika pada buku-buku adopsi yang ada, lebih mengacu pada sisi historisitas yang berlangsung dan termaktub pada sumber-sumber yang ada, selain itu dalam pengembangannya penulis juga menggunakan metode eksploratif deduktif.  
        
BAB II
PEMBAHASAN
Ijtihad Pasca Imam Imam Mazhab
di tulis oleh: Mujib[1]
A.Sekilas pandangan tentang ijtihad dan mujtahid.
    Secara etimologis, ijtihad berakar pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
     Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.”.
1.Pembagian mujtahid.
a.       Mujtahid Muthlaq, yaitu orang yang mampu menggali atau mengambil hokum-hokum cabang dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan ijtihajnya.Mujtahid ini terbagi menjadi dua ya’ni mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib[2].
b.      Mujtahid Mazhab, Mujtahid ini juga terbagi menjadi dua macam, ya’ni mujtahid takhrij dan mujtahid tarjih[3].
2. Sekilas pandangan tentang ijtihad pasca imam mazhab.
     Banyak yang mengatakan bahwa pintu  ijtihad masa pasca imam-imam mazhab telah tertutup, hal yang di maksud demikian adalah  tertutupnya berijtihad membuat dasar hokum(hujjah) baru atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut dikarenakan minimnya seseorang yang mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka, namun hakikatnya adalah bukan berarti sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena hokum itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan keadaan, jadi ada besar kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan untuk bisa mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
   Setelah mujtahid mazhab(mutlaq muntasib) berakhir, bukan berarti pintu ijtihad tertutup, namun yang bisa  diijtihadi oleh ulama’  pasca imam mazhab tidak sejajar dengan mereka ,  tidak mudah bahkan mustahil seseorang membuat mazhab sendiri(ana mujtahidul mazhab)[4]. Karena sumber-sumber hokum sudah di paparkan semuanya oleh mereka (mujtahid mazhab), ijtihad yang bisa dilakukan pasca ini adalah dengan metode penuqilan dan muqoronatul mazahib.
B.Sejarah dan Aktifitas Tasyri’ Pasca Imam Imam Mazhab.     
    Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni; masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad)  hingga masa sekarang atau moder n.
1. Masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi.
    Periode berlangsung dari abad (ke-IV H) hingga jatuhnya Baghdad (VII H). Pada periode ini, aktifitas tasyri’ hanya berkutat pada era taklid dan pensyarahan hasil ijtihad para mujtahid periode sebelumnya(era imam imam mazhab). Di sisi politik , pada periode ini memunculkan beberapa kejadian -kejadian penting; yang dimulai dengan pengaruh Bani Buwaihi(334-447H/945-1055M)yang menguasai Persia kemudian,  dilanjutkan oleh Bani Saljuk(447-656H/1055-1258M) yang  di pmpin oleh Nizamul Mulk dan di kalahkan oleh Dinasti Hasysyasyin pimpinan Hasan Ibnu Sabah , meskipun Bani Saljuk sempat berdiri lagi namun akhirnya di kalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urbanus II(1096-1099)[5], dan di tutup oleh penyerbuan besar -besaran dari pasukan Mongol yang membuat Baghdad hancur. Periode ini berlangsung sekitar 4 abad , yaitu di mulai munculnya Bani Buwaihi di pemerintahan ‘Abbasiyah pada pertengahan abad ke 4 hingga runtuhnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah sekaligus pusat peradaban Islam pada abad ke 4[6].
1).Masa Taklid.
    Semangat dan kemerdekaan ijtihad yang marak mewarnai aktifitas tasyri’ di berbagai periode sebelumnya, seolah-olah lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang justru menjadi titik awal kemunduran tasyri’, ya’ni taklid. Kalaupun ditemukan, adanya hanya praktek ijtihad yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tasyri’ generasi ini, namun yang ada hanyalah mujtahid muqoyyad atau mazhab[7]. mujtahid ini terbagi menjadi dua bagian, ya’ni Mujtahid Takhrij(Mujtahid Asbab al- Wurud), dan Mujtahid Tarjih(Mujtahid Fatwa)[8] yang lebih jelasnya pada sub bab berikutnya.
   Faksionalisme atau sektarisme(pengelompokan) Mazhab juga tak dapat terelakkan. Tradisi ini berkembang pesat menjamah hamper ke setiap sudut wilayah Islam, walaupun pada  saat itu fenomena  faksionalisme mulai mengerucut hanya pada empat Mazhab Sunni(Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan beberapa corak dari Mazhab Syi’ah. Mazhab-mazhab itulah yang perode ini mulai menampilkan bentuknya yang sistematis dan mapan, sedang mazhab-mazhab lain seperti al-Auza’I, Sufyan al-Tsauri, Ibn Abi Laila, Abu Tsaur, dan Laits ibn Sa’d, sedikit-demi sedikit terkikis dan akhirnya hilang dari peredaran.Sejumlah tokoh-tokoh fiqh ternama juga lahir di peiode ini, terutama di periode Bani Saljuk dan Dinasti Fathimiyah di Mesir, seperti al-Karkhi, al-Juwaini, Imam al-Haramain, al-Ghazali, Ibn al-‘Arabi, Ibn Rusyd, Abu Ishaq al-Isfirayini, al-Rafi’I, al-Nawawi, dan lain lain.
Selanjutnya, fenomena taklid dan faksionalisme mazhab menjadi ciri khas tersendiri di awal era ini. Kemudian tradisi penambahan atribut berupa nama mazhab yang ditempatkan dibelakang nama pribadi tokoh tertentu mulai menjamur, seperti sebutan al-Syafi’I dan al-Syafi’iyyah bagi pengikut mazhab Syafi’I, al-Hanafi dan al-Ahnaf bagi pengikut mazhab Hanafi, al-Maliki dan al-Malikiyah bagi pengikut mazhab Maliki, dan al-Hanbali dan al-Hanabilah bagi pengiku mazhab Hanbali.[9]
   Selain kedua karakter diatas, ciri utama tasyri’ era ini adalah dimulainya babak baru dikotomi syari’at dari sistem hokum Negara yang terjadi pasca intervensi politis Bangsa Mongol atas wilayah Islam.Bangsa Mongol tidak lagi membolehkan berkembangnya syari’at sebagai undang-undang karena di nilai berpotensi subversif[10].
a.Tradisi taklid .
    Yang dimaksud dengan taklid disini adalah totalitas penerimaan rumusan hokum syari’at Islam dari seorang imam tertentu, dan anggapan bahwa ketetapan itu muthlak harus di ikuti oleh muqollid, seolah-olah ada dalil nash yang mewajibkan hal itu[11].  
    Dalam mendeskripsikan kondisi tasyri’ di periode ini, al-Hajwi berkata,”tradisi taklid telah menguasai para ‘ulama’. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi ini terus berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu mayoritas ‘ulama’ tela puas dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan Hanbal……. Kontribusi pemikiran imam-imam tersebut di nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak berani mereka tentang”[12].
    Senada dengan al-Hajwi, Farouq Abu Zaid mengatakan, “Kondisi rapuh yang menimpa dunia Islam semenjak pertengahan abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad membawa dampak yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya, tertutuplah pintu ijtihad dan terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian semangat taklid di kalangan pakar fiqh. Dalam menyikapi berbagai permasalahan dan fenomena masyarakat, mereka tidak lagi melakukan isthinbath al-ahkam secara langsung dari sumber hokum, al-Qur’an hadis. Mereka lebih suka mengikat diri dengan pemikiran-pemikiran atau  pendapat-pendapat pendahulunya[13].
b. Sebab-Sebab Taklid
     Tumbuh dan berkembangnya mentalitas taklid pada periode ini di sebabkan oleh beberapa faktor, baik internal atau eksternal. Diantara sebagian kecil faktor tersebut ialah[14];  
a.       Instabilitas sosial politik.
b.      Rumusan hokummazhab fiqh dianggap sudah pari purna.
c.       Fanatisme bermazhab(Ta’ashshub).
d.      Melemahnya semangat ijtihad.
e.       Tertutupnya pintu ijtihad.
2). Konsolidasi Mazhab.
     Dalam hal ini, Khudlori Bik menyebutkan tiga fokus aktifitas tasyri’ ilmiyah pakar-pakar fiqh periode ini; pertama, menganalisa alasan hokum(illat) yang dideduksikan oleh imam mazhab;kedua, mentarjih(menyeleksi) berbagai pendapat mazhab ;ketiga, pembelaan terhadap eksistensi mazhab[15]. 
      Fokus pertama lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, dengan cara: memanfaatkan pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan yang pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad. Dari sinilah dikenal isthilah mujtahid mazhab dan mujtahid takhrij. Termasuk dalam kategori pertama (mujtahid mazhab[16]) adalah; al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah), Ibn al-Qosim dan Ashab(Malikiyah), al-Buwaithi dan al-Muzani(Syafi’iyah).        Sedangkan kategori kedua(mujtahid takhrij) adalah; al-Khashaf, al-Thahawi, dan al-Karkhi(Hanafiyah), al-Lakhmi, Ibn al-‘Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah), dan al-Ghazali serta Ishaq al-Isfirayini(Syafi’iyah)[17].
   Fokus kedua adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua pendekatan, ya’ni dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hokum). Dari kedua corak ini,dalam fiqh  kemudian dikenal dengan ahl al-tarjih atau mujtahij tarjih. diantara ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam al-Haramain[18].
   Fokus ketiga adalah upaya mengukuhkan eksistensi mazhab(konsolidasi mazhab) dengan cara mengekspos atau mempublikasikan keunggulan dan kelebihan imam mazhab serta dengan mengetahkan argument sebagai bukti akurasi hasil ijtihad imam mazhab dan mencari titik kelemahan pendapat hokum yang bersebrangan dengan imam masing-masing[19].
   Selain ketiga fokus di atas, aktifitas lainya pada periode ini adalah upaya sistematika hokom-hokum fiqih setiap mazhab, dengan mendokumentasikan dan menuliskan pemikiran mazhab, membuat komentar(syarh), meringkas(mukhtashar), menguraikan kemusykilan berikut kontraversinya(baik antara imam mazhab dengan muridnya ataupun dengan imam mazhab lain)[20] , dengan kata lain,  aktifitas tasyri’ selain dari ketiga fokus di atas  di periode  ini adalah;
a. Penulisan Fiqh.
    Dalam perkembangannya, sistematika ini hanya berafiliasi pada kitab induk, seperti al-Mudawwamah wa al-Mukhthalithah oleh Suhnun(w.240) murid ‘Ali ibn al-Qasim(murid Asad)  revisi dari buku al-Asadiyah oleh Asad ibn al-Furat(w.212). Mereka adalah pengikut mazhab Maliki dari Afrika Utara. Kemudian kitab al-Wadi’ah oleh ‘Abd al-Malik ibn al-Hubaib, dan al-‘Uthbah oleh al-‘Uthbi(murid ‘Abd al-Malik ibn al-Hubaib).
    Sedangkan dari mazhab Syafi’i, buku induknya ialah al-Umm karya imam Syafi’i, serta al-Buwaithi dan al-Muzani, kedua-duanya mengarang kitab yang judulnya sama,ya’ni al-Mukhtashar. Ketiga kitab tersebut memuat pemikiran fiqh Syafi’iyah ketika di Mesir, atau biasa di kenl dengan “qaul jadid”.
    Sedangkan dari mazhab Hanbali, buku fiqh yang paling masyhur pada msa ini ialah al-Mughni karya Ibn al-Quddamah(w.620 H) dari Damaskus yang memuat berbagai macam persoalan fiqh mazhab Hanbali tebalnya kisaran 10 jilid[21]. Hingga ‘Izz al-Din ibn’Abd al-Salam berkomentar ”Aku tidak puas dengan berbagai fatwa sampai aku memiliki al-Mughni”.  
b. Perkembangan dan Penulisan Ushul Fiqh.
     Perjalan ushul fiqh pasca imam Syafi’i mengalami perjalanan signifikan di karenakan adanya masa taklid dan konsolidasi di antara mazhab-mazhab, sejalan dengan hal ini kajian tentang ushul fiqh hanya mengkaji ulang yang ada, kemudian mencurahkan segenap pemikiran untuk saling menguatkan pendapat mazhab tersebut[22].
    Literatur penulisan yang mendominasi di pdriode ini terbagi menjadi dua corak. Pertama, ushul fiqh mutakallimin yang banyak dilakukan ulama’ kalam, dengan landasan bahwa materi  ushul fiqh memiliki keterikatan dengan permasalahan furu’iyah, dengan sistematika menitik beratkan pada pentahqiqan(editorial) dan pemaparan argumentasi rasional sebagai bukti kevalidan setiap dalil fiqh tanpa mendeskripsikan persoalan fiqhnya, karenanya ushul fiqh tidak tunduk kepada fiqh, melainkan fiqh yang harus menyelaraskan dengan kaidah ushul. Kedua, ushul fiqh Hanafiyah, yang banyak di pakai oleh kalangan ulama’ Hanafiyah, dalam metodiknya mereka lebih menekankan pada persoalan-persoalan furu’iyah, dengan ungkapan lain analisa ushul fiqh sengaja dilakukan untuk memperkuat atau menjustifikasikan fiqh mazhab. Karena sifatnya yang demikian, ushul fiqh cenderung tunduk pada fiqh dan tidak menutup kemungkinan berubahnya hokum fiqh sesuai perubahan yang telah ada[23].
a). Buku- Buku Ushul Fiqh Mutakallimin.
     Mula-mula yang di jadikan pijakan adalah al-Risalah, dengan adanya komentar(syarh) dan penjelas isi al-Risalah, dintaranya oleh; Abu Bakr al-Syairafi(330H), Abu al-Walid Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Naisaburi(w.365H), dan untuk masa baru ini oleh Imam al-Haramain(478H) dan Muhammad Syakir. Setelah dua abad ke II , metode penulisannya berformat sistem naql [24], kemudian dengan metode baru dengn format naql dengan banyak penguraian. Diantara kitab-kitab ini adalah al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil fi Bayan Masalik al-Ta’lil, dan al-Mushtashfa karya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali(w.505H), murid Imam al-Haramain. Ketiga karya ini merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi dan tak bisa di pisahkan. Hanya saja yang paling terkenal dan di publikasikan adalah al-Mushtashfa yang terdiri dari dua jilid.
     Perlu di ketahui bahwa buku-buku ushul fiqh mutakallimin adalah gabungan dari beberapa mazhab, baik mazhab teologi yang diwakili Mu’tazilah ataupun dengan  mazhb fiqh, berbeda dengan ushul fiqh Hanafiyah atau fuqoha’  yang hanya di dominasi oleh mazhab hanafiyah saja.            
b). Buku- Buku Ushul Fiqh Hanafiyah
      Buku ushul fiqh yang  menggunakan metode ushul fiqh Hanafiyah pertama kali di tulis sepertiga pertama abad IV oleh Muhammad ibn Mahmud, yang populer dipanggil Abu Manshur al-Maturidi(w.333H), pendiri mazhab teolog al-Maturidiyah dengan judul Ma’akhidz al-Syarai’  yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan pertama kali yang menulis buku-buku ushul fiqh Hanafiyah dari aliran mazhab Hanafiyah ialah Abu al-Hasan al-Karkhi(w.340H) yang berjudul Risalah al-Karkhi yang populer dikenal dengan Ushul al-Karkhi yang juga masih berupa manuskrip.
c. Perkembangan dan Penulisan Kaidah Fiqhiyah
     Muhammad Yasin al-Fadani, mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali membuka pintu diskurs kaidah fiqh adalah Abu Thahir al-Dabbasi dari mazhab Hanafiyah, yang mengemas ke dalam 17 kaidah termasuk “al yaqinu la yuzalu bi al-syak” , kemudian di susul oleh al-Qadli Husain dari mazhab Syafi’iyah yang membagi menjadi 4 kaidah pokok ya’ni; al-yaqinu la yuzalu bi al-syak, al-masyaqqotu tajlibu al-taisir, al-dlararu yuzalu, dan al ’adatu muhakkamah[25].
     Sementara itu, ‘Ali Jum’ah mengatakan bahwa buku pertama kali kaidah fiqhiyah adalah Risalah al-Karkhi(w.340H) yang merumuskan 36 kaidah fiqh mazhab Hanafi, yang masing-masing dinmai al-ushul .dan 17 diantaranya adalah koleksi Abu Thahir, yang kemudian ia kembangkan menjadi 36 kaidah[26].
    Sekitar satu abad berikutnya, tokoh Malikiyah juga aktif mengembangkan dan menulis kaidah fiqh, ‘Abd al-Wahab al-Baghdadi(w.422H) dikenal sebagai penulis pertama kali kaidah fiqh dari Malikiyah yang berjudul al-Nadlair, kemudian Ahmad ibn Idris al-Qarafi(w.684) dengan judul Anwar al-Buruq fi al-Furuq yang memuat 548 buah kaidah. 
    Sedangkan mazhab Hanbali boleh dibilang tertinggal dari ketiga mazhab lainya, di akhir periode ini Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Samuri(w.616) tampil sebagai pelopor penulisan buku kaidah fiqh mazhab Hanbali yang di beri judul al-Faruq.   
d. Dialektika Mazhab, Embrio Ilmu Jadal
    Dialektika dan perdebatan hokum antar mazhab memang sudah muncul bersamaan dengan munculnya mazhab itu sendiri. kita tentu masih ingat perdebatan antara al-Syafi’I dan Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani(murid Abu Hanifah di Irak), atau polemic antara Malik di Madinah dan Laits ibn Sa’d di Mesir yang terjadi pada masa Abbasiyah I. Hanya saja, perdebatan yang terjadi saat itu tidak sampai menimbulkan pertikaian dan permusuhan, masing-masing mujtahid termotivasi untuk mencari solusi hokum yang benar untuk  menghasilkan rumusan hokum syari’at hokum yang valid dan sesuai dengan kandungan nash dan tuntutan syari’ah. Mereka juga saling menghormati satu sama lain, al-Syafi’i sering memuji Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, padahal ia pakar hadis yang juga tokoh rivalnya al-Syafi’I dalam setiap forum diskuisi. aku tidak pernah melihat orang yang lebih pintar dari Muhammad ibn al-Hasan, demikian kata al-Syafi’i[27].
    Berbeda dengan dealektika yang terjadi di era ini, motivasi yang ditujukan hanya pada pembelaan mazhab masing-masing, bahkan ada yang sengaja pamer kebolehan berdebat untuk meraih pujian, dan penghargaan dari pemerintah[28]. Bahkan ketika masa Buwaihi terjadi pertikaian antara Sunni dan Syi’ah yang mengakibatkan pertumpahan darah, pada masa ini juga terjadi perdebatan khilafiyah fiqh antara Syafi’iyah, Malikiyah, danHanafiyah, sedangkan Hanabilah dan mazhab-mazhab lain kurang mendapatkan perhatian serius.
    Ibnu Khaldun mengatakan: ”sungguh, khilafiyah adalah ilmu yang mulia dan bermanfaat untuk mengetahui sumber pengambilan hokum para imam serta dalil yang digunakan. Orang yang berusaha menelaahnya akan terlatih dalam mengemukakan pemikiran yang di inginkan[29].
    Dalam konteks  khilafiyah ini, terdapat beberapa buku metode berdebat, diantaranya ialah al-Tajrid karya Abu Hasan al-Baghdadi(w.428), al-Ma’akhidz karya al-Ghazali, al-Ta’liqat karya Abu Zaid al-Dabusi, dan ‘Uyunu al-‘Adilah karya Ibn al- Qashar.
    Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu dialektika  adalah sebagi disiplin ilmu pengetahuan tentang pedoman atau kaidah-kaidah berdebat, baik yang mempertahankan pendapat ataupun yang menolaknya, baik yang berhubungan dengan yurisprudensi(ijtihad) maupun masalah lainnya. Buku pertama ilmu jadal adalah al-Irsyad karya ‘Umaidi dengan format yang ringkas[30].       
2. Periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad)  hingga masa sekarang atau (656 -Abad 15 H/ 1258-Abad 21M).
1). Periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’
     Periode masa stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi taklid yang tumbuh pada masa sebelumnya , di susul kemudian dengan masa kebangkitan atas kesadaran umat dari ketertinggalan mereka di berbagai bidang. Masa stagnasi yang berlangsung hingga kisaran abad ke 12 merupakan masa ketika umat Islam hanya mengandalkan  pemikiran imam -imam mazhab terdahulu. Khudlari bik mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang(pasca periode imam mazhab) yang mencapai skill mujtahid kecuali hanya sedikit dari mereka”[31]. Ulama’ yang bisa menggantikan mereka di antaranya; ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam[32](w.660H), Ahmad Ibn Taimiyah(w.728H), Taqi al-Din al-Subqi(w.756H), Taj al-Din al-Subqi(w.756H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah(w.751H), Jalal al-Din al-Mahalli(w.864), Jalal al-Din al-Suyuthi(w.911H),dan lain sebagainya.
I.Hal-hal yang menyebabkan stagnasi
        i.             Hancurnya Baghdad.
Secara praktis karena kota Baghdad dihancurkan oleh tentara mongol yang merupakan kota kebudayaan dan pengetahuan Islam, berpengaruh hebat bagi kemunduran Islam pada periode berikutnya, di samping itu juga, buju-buku perpustakaan dibakar dan juga karena adanya kendali di bawah orang-orang komunis.  
      ii.            Miskomunikasi ulama’.
Kondisi semacam ini sangat kontras di era ini, Ulama’ Mesir jarang yang kenal dengan Ulama’ Syam, begitu juga sebaliknya, di samping itu juga semangat berbagi keilmuan mulai berkurang, di samping pancaran cahaya yang sudah mulai meredup.
    iii.            Intervensi ilmu-ilmu non-syari’at
Masuknya penjajah eropa menjadikan dikotomi antar Negara dan syari’at(sekularisme), begitu juga undang-undang Islam diganti dengan undang-undang versi barat, hal ini berlangsung hingga kini kecuali segelintir dari Negara-negara Islam, seperti Saudi Arab(Hanbali), Pakistan(Hanafi), Iran(Syi’ah Ja’fari).
 2). Periode masa kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad) hingga masa sekarang atau modern.
       Munculnya tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu al-Taimiyyah, dan al-Syaukany-tanpa menghilangkan rasa hormat pada mereka, ternyata belum mampu membangkitkan ghairah umat untuk bangkit dari keterpurukan tersebut.
      Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , ya’ni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hokum yang bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi -diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya .
      Mujtahid ini biasa di kenal mijtahid kontemporer, mayoritas metode yang mereka gunakan adalah dengan metode moqoronatul mazahib. untuk lebih jelasnya  akan kita bahas pada pada tema selanjutnya.
      Mungkin hanya ini yang dapat kami(penulis) sampaikan, tentunya “tak ada gading yang tak retak”, banyak kekurangan yang masih perlu di benahi, karena itulah  kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wa Allahu a’lamu bi al-shawab.
BAB III
KESIMPULAN
 Banyak yang mengatakan bahwa pintu  ijtihad masa pasca imam-imam mazhab telah tertutup, hal yang di maksud demikian adalah  tertutupnya berijtihad membuat dasar hokum(hujjah) baru atau dengan mendirikan mazhab sendiri, hal tersebut dikarenakan minimnya seseorang yang mempunyai ke ahlian yang sejajar dengan mereka, namun hakikatnya adalah bukan berarti sepenuhnya pintu ijtihad tertutup, karena hokum itu bisa berubah tergantung zaman, tempat, dan keadaan, jadi ada besar kemungkinan untuk bisa ber ijtihad, hanya saja sedikit kemungkinan untuk bisa mencapai derajat mujtahid imam-mazhab(mujtahid muthlaq mustaqil).
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni; pertama, masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan kedua, masa periode masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya baghdad)  hingga masa sekarang atau modern. Bentuk ijtihad yang di lakukan pasca imam mazhab adalah;
1.mujtahid mutlaq muntasib.
Hal ini ada sebagian ulama’ ada yang mengkategorikan kedalam mujtahid mazhab. metode ijtihad ini lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, ya’ni dengan cara: memanfaatkan pengetahuan tentang illat hokum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan yang pernah terjamah hokumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad, menempuh jalan yang di tempuh oleh imam mereka, tidak taklid pada imamnya, hanya saja menggunakan keterangan imamnya untuk penelitian sumber pengambilannya, ulama’ yang termasuk dalam kategori ini (mujtahid mazhab) diantaranya adalah; al-Hasan ibn al-Ziyad(Hanafiyah),Ibn al-Qosim dan Ashab(Malikiyah), al-Buwaithi dan al-Muzani(Syafi’iyah).
2. Mujtahid Mazhab takhrij.
 Metode ijtihad sama dengan metode yang dilakukan mujtahid muthlak muntasib, diantara tokoh yang tergolong Mujtahid Mazhab takhrij  adalah; al-Khashaf, al-Thahawi, dan al-Karkhi(Hanafiyah), al-Lakhmi, Ibn al-‘Arobi, dan Ibn Rusd(Malikiyah), dan al-Ghazali serta Ishaq al-Isfirayini(Syafi’iyah).
3. Mujtahid Mazhab tarjih.
Metode ijtihad ini adalah dengan mentarjih atau penyelesaian pendapat, yang di lakukan dengan dua pendekatan, ya’ni dari segi periwayatan dan dari segi diroyah(analisa substansi hokum). Diantara ulama’ ini adalah; al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di antaranya adalah Imam al-Haramain.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyan, Ahmad ‘Ali, Tarikh Al-Tasyri’ Wa Al-Fiqh  Al-Islami, Riyadl, Dar Eshbelia, 2001.
Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, Ter. Ira Puspito Rini, Yogyakarta, Ikon Teralita, 2002.
Prof. Dr. Muhaimin, MA Dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana, 2007.
Sirry , Mun’im Ahmad, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya, Risalah Gusti, Cet.II, 1996.
Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, Lirboyo, FPPI, 2006.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2002.
Zahrah, Muhammad Abu , Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi,1958.


[1] Penulis adalah mahasiswa semester satu STAIMA MA’HAD ‘ALI  “AL HIKAM” MALANG 2011/2012.               
[2] Mujtahid muthlaq mustaqil adalah orang-orang yang mampu menyusun metode dasar hokum agama, tidak taklid(mengikuti) dasar hokum orang lain, mampu menggali hokum dari sumber pokoknya dan dalil yang di tetapkan sebagai hujjah. Seperti imam-imam mazhab(mazhab arba’ah). Mujtahid muthlaq muntasib adalah orang yang mempunyai derajat Mujtahid muthlaq mustaqil, hanya saja mereka tidak menyusun sendiri, tetapi menempuh jalan yang di tempuh oleh imam mereka, tidak taklid pada imamnya, hanya saja menggunakan keterangan imamnya untuk penelitian sumber pengambilannya. Misalnya dari mazhab Syafi’I al-Muzani(w.264) dan dari Hanafiyah al-Hasan ibn Ziyad(w.204). Lihat: Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 188
[3] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal.188-189
[4] Dialog interaktif Gus M. Yusron Assidqy, selasa(malam rabu) 3 Januari 2012 di Ma’had Ali al-HIkam Malang.
[5] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 228
[6] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, hal. 4
[7] Mujtahid muqoyyad atau mazhab adalah ulama’ yang mampu mencetuskan hokum-hokum yang belum pernah di jelaskan oleh imam mazhab dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul mazhab, di antaranya; Ahmad Ibn ‘Umar al-Kashsaf(w.261 M), Abu Ja’far Ahmad al-Thahawi(w.380 M), Abu Hasan al-Karkhi(260-340), al-Halwani, al-Sarakhsi, Ahmad Ibn al-Hasan al-Barda’I, dan Qadli Khan. Dari Hanafiyah; al-Abhari, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani. Dari Malikiyah; Abu Ishaq al-Syairazi, al-Mawardi, Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Abi Nashir, dan Ibn Huzaimah dari syafi’iyah, dan Abu ‘Ali Ibn Musa, Ibn ‘Ali Ya’la dari Hanabilah. Kelas III Aliyah 1997 MHM, Mengenal Isthilah Dan Rumus Fuqoha’(Lirboyo, Kediri:1997), hal 7;Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, cet.IV, 2002), juz I, hal 63     
[8] Prof. Dr. Muhaimin, MA dkk, Kawasan Dan Wawasan Studi Islam, hal. 189
[9] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul Dan Perkembangan Fiqh, ter. M. Fauzi Arifin(Bandung: Nusa Media dan Nuansa, 2005), hal. 140
[10] Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, ter. Ira Puspito Rini(Yogyakarta:Ikon Teralita, 2002), hal.119
[11] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri’ al-Tasyri’ al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal. 323
[12] Ahmad ‘Ali ‘Ilyan, Tarikh al-Tasyri’ wa al-Fiqh  al-Islami(Riyadl:Dar Eshbelia, 2001), hal. 273
[13] Lihat: Mun’im A.Sirry, Sejarah Fiqh Islam(Surabaya :Risalah Gusti, Cet.II, 1996hal.128
[14] Lihat: ‘Ilyan, Tarikh, hal. 274-276; ‘Abd al-Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri’(Surabaya:al-Haramain, Cet. VIII, tt), hal. 95-99; ‘Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal ila Dirasah al-Mazahib al-Fiqhiyah(Kairo: Dar al-Salam, 2004), hal. 355-356; Philips, Asal, hal. 149-150  
[15] Khudlari, Tarikh, hal 320
[16] Atau sama saja dengan mujjtahid muthlaq muntasib
[17] Khalaf, Khulashah, hal. 99-100
[18] Khalaf, Khulashah, hal. 101
[19] Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, hal. 301
[20] Lihat: Jum’ah, al-Madkhal, hal. 356
[21]  Al-Maraghi, Pakar Fiqh, hal. 195-196
[22]  Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh(Dar al-Fikr al-‘Arabi,1958), hal. 16-18
[23]  Lihat :Tim KIP MHM Lirboyo 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, hal. 305-306
[24]  Secara etimologi adalah memindah, mengalih, mengutip. Secara isthilah berarti pengutipan suatu pendapat atau nash dari sumbernya secara langsung beserta riwayatnya.
[25] Al- Fadani, al-Fawaid, juz.1, hal 70 
[26] Lihat :Jum’ah, al-Madkhal, hal 325
[27] Khudlari, Tarikh, hal. 233-234, bandingkan: Jum’ah, al-Madkhal, hal. 82.
[28] Khudlari, Tarikh, hal. 334
[29] khaldun, Muqaddimah, 587
[30] khaldun, Muqaddimah, hal.389
[31] Muhammad Khudlari Bik, Tasyri’ al-Tasyri’ al-Islami(Surabaya:al-Hidayat, tt), hal.365-366.
[32] Perintis kaidah fiqhiyah 4 menjadi menjadi satu ya’ni, “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalikh”.