Etika dan Batasan Dalam Berbeda Pendapat
Wed, 3 September 2014 10:35 - 1251 | fiqih Assalamu 'alaikum wr. wb.ustadz, perkenankan kami bertanya tentang masalah berbeda pendapat.
1. Dalam bidang apa saja kita dibenarkan untuk berbeda pendapat?
2. Apakah perbedaan pendapat ini bagian dari perpecahan umat yang Nabi SAW ramalkan?
3. Kalau beda pendapat dibolehkan, bukankah akan melahirkan permusuhan?
4. Kalau pun dibolehkan, lalu bagaimana adab dan akhlaq berbeda pendapat?
Mohon penjelasan sekaligus pencerahannya, ustadz.
Wassalam
Jawaban :Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Meski pun berbeda pendapat itu dibolehkan, namun tetap ada batasan dimana kebolehan itu berlaku. Di luar garis yang telah dibolehkan, maka perbedaan pendapat itu menjadi tidak produktif lagi. 1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental Kita sering membagi tema agama menjadi dua, yaitu hal-hal yang bertema aqidah dan syariah. Di dalam tema aqidah, kita menemukan wilayah dasar dan wilayah cabang, sebagaimana di dalam tema syariah pun kita menemukan ada yang berada di wilayah dasar dan cabang. Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada di wilayah cabang, baik dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih. Contoh tema aqidah yang merupakan dasar adalah kita beriman bahwa Allah SWT bersifat Esa tidak berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya. Sedangkan tema aqidah tapi wilayah cabang adalah apa saja yang termasuk nama dan sifat Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah, termasuk juga masalah wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh berbeda pendapat dalam masalah cabang seperti ini dan tidak akan membuat mereka menjadi kafir atau masuk neraka. Contoh tema syariah yang menjadi bagian dasar misalnya bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sedangkan contoh tema syariah yang menjadi bagian furu' adalah apakah qunut pada shahat shubuh itu hukumnya sunnah atau bid'ah. Para ulama dibolehkan berbeda pendapat dalam hukum qunut shubuh ini, tetapi tidak boleh berbeda pendapat tentang disyariatkan lima waktu shalat yang wajib. Sayangnya dalam alam nyata, orang seringkali terbolak-balik dalam berbeda pendapat. Kadang masalah yang fundmental masih saja diperdebatkan bahkan dipermasalahkan, padahal bila hal itu dilakukan, justru sendi agama yang paling dasar akan dirusak. Kalangan orientalis dan liberalis biasanya menyerang pada bagian dasar ini, teetapi dengan kamuflase seolah-olah kita masih boleh berdebat dan berbeda pendapat. 2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan Yang juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan bahwa perbedaan pendapat pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal antara perbedaan pendapat dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat jauh, bagi mereka yang tahu aturan main. Memang terkadang orang-orang yang kurang ilmunya memandang bahwa perbedaan pendapat itu harus bermakna perpecahan. Karena berbeda pendapat dalam batas-batas tertentu dibenarkan, tetapi berpecah-belah itu diharamkan. Dan haramkan berpecah-belah itu ditegaskan di dalam Al-Quran.
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran : 103) Perpecahan di dalam masalah fundamental agama pernah dialami oleh umat sebelum kita, yaitu para ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Mereka adalah contoh yang tidak baik dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu Allah SWT telah berpesan agar kita jangan terperosok sebagaimana mereka terperosok.
وَلاَ تَكُونُواْ
كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ
الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa
yang berat. (QS. Ali Imran : 105) Tugas para ulama adalah menegakkan agama Islam, oleh karena itu diharamkan bagi mereka berpecah-belah. Dan ini merupakan wasiat tiap nabi yang pernah turun, sebagaimana firman Allah SWT :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ
الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Dia telah mensyari'atkan bagi
kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. Asy-Syura : 13)
وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ
Dan mereka tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (QS. Asy-Syura : 14) 3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan permusuhan dengan sesama muslim, apalagi sesama para ulama dan juru dakwah. Kalau pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada dalam satu kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan. Sebab permusuhan itu akan sangat melemahkan umat, sebaliknya lawan akan nampak semakin tangguh.
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath : 29) Maka sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam, tidak boleh sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan anarkis. Ketika Nabi Musa menarik rambut dan jenggot saudaranya, Nabi Harun, alaihimassalam, beliau pun diingatkan untuk tidak melakukannya.
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا
تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ
فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي
Harun menjawab,"Hai putera ibuku,
janganlah kamu pegang janggutku dan jangan kepalaku. Sesungguhnya aku
khawatir bahwa kamu akan berkata,"Kamu telah memecah antara Bani Israil
dan kamu tidak memelihara amanatku".(QS. Thaha : 94) 4. Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat Dan biasanya permusuhan itu akan semakin berkobar, manakala perbedaan pendapat itu diwarnai pula dengan tindakan dan ucapan yang tidak terpuji. Maka kalau pun terpaksa harus berbeda pendapat, haram hukumnya untuk saling melempar cacian, hinaan, cemoohan, bahkan mendoakan keburukan dan tindakan-tindakan negatif lainnya.
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman : 19)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka , karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat : 12) a. Tidak Mencaci Perilaku tidak terpuji dari mereka yang berbeda pendapat adalah melontarkan makian, hinaan dan cemoohan kepada pihak yang pendapatnya tidak sejalan dengan pendapat mereka. Sayangnya, kita masih sering membaca atau mendengar ungkapan-ungkapan yang kurang simpatik dari mereka yang berbeda pendapat, seperti ungkapan berikut :
Salah satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung menyalahkan pendapat orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa yang menjadi pendapat orang, serta dilengkapi dengan alasan dan argumentasinya. Dan yang lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu sebagai hasil sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yang berbeda, juga lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Dua pendapat yang berbeda ini harus secara jujur dikemukakan dengan adil dan seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah ilmiyah yang harus dipertanggung-jawabkan. Sehingga para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar kesalahan orang lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yang kita upayakan seobjektif mungkin, tanpa diiringi dengan fanatisme buta. c. Tidak Mendominasi Kebenaran Terakhir, barulah kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif, serta dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika. Juga akan menjadi lebih baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita pilih ini bukan kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yang ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa saja menjadi benar. Dan kebenaran hanya milik Allah, atau dengan ungkapan wallahua'lam. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar